Skip to main content

Posts

Wakaf dan Masjid Membangun

  Akhir-akhir ini, pembicaraan masyarakat mengenai salah satu instrumen ekonomi Umat, begitu keras terdengar. Kita belum usai tentang optimalisasi wakaf terhadap penguatan kesejahteraan ummat, publik dihebohkan dengan adanya upaya pemerintah untuk menggerakkan wakaf secara nasional. Jika difaham ini dalam ranah pikiran positif, maka negara cukup peka dengan permasalahan ummat Islam yang saat ini memang kebingungan dalam memanfaatkan harta yang berlebih. Masalahnya, upaya negara dalam menggerakkan salah satu unsur perekonomian Islam ini tidak disambut dengan kebahagiaan oleh seluruh ummat. Pasalnya, asumsi yang kuat muncul dengan menempatkan pemerintah hanya ingat untuk memanfaatkan wakaf ini di saat kondisi keuangan negara dengan beban utang yang semakin meningkat. Kalau tak salah dengar dan tak salah baca, utang negara saat ini sudah menyentuh level 6000 Triliun atau lebih dari sepertiga ukuran perekonomian negara ini. Meskipun sudah dijelaskan berkali-kali bahwa Wakaf tidak mas

Culture-Heritage Ranah Minang : Mengenal Filosofi dan Esensi Rangkiang di Rumah Gadang

Apabila berbicara tentang kehidupan masyarakat Minangkabau, kita menemukan beragam kearifan yang terkadang menunjukkan betapa tajamnya filosofi kebudayaan Minangkabau dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Di antara bentuk kebudayaan tersebut adalah pendirian Rangkiang di bagian depan Rumah Gadang. Rangking merupaka padi yang sengaja didirikan untuk menyimpan hasil panen pada satu musim dan biasanya difungsikan untuk berjaga-jaga. Dahulunya,sebagian besar masyarakat Minangkabau memang menerapkan sistim tanam yang menyesuaikan dengan musim, apalagi mayoritas lahan di Minangkabau adalah tadah hujan. Rangkiang berperan penting dalam menjaga persediaan selama musim kemarau atau setelah musim panen, serta juga bisa dijual sekiranya ada kebutuhan mendesak yang tidak dapat diduga-duga. Namun, semenjak perkembangan teknologi pertanian dan pesatnya pembanguan infrastruktur pertanian seperti irigasi, Rangkiang sudah tidak lagi difungsikan secara optimal. Masyarakat yang bisa be

Industry Revolution 4.0 Vs Society 5.0 : Memelihara Kebudayaan dan Harmonisasi Sosial

Kita menemukan sebuah kenyataan bahwa perkembangan ekonomi terus bergerak secara dinamis semenjak bergulirnya era industri yang kemudian berlanjut dengan fase digitalisasi. Manusia yang terus membangun inovasi guna memperkuat asas efisiensi dan efektitivitas   di dalam sebuah kegiatan, pada akhirnya berhadapan pada sebuah kenyataan bahwa manusia telah membentuk suatu kehidupan yang mereduksi peran dari manusia itu sendiri. Ketika era digital semakin menguat, manusia secara berangsur-angsur meninggalkan nilai-nilai sosial yang sejatinya merupakan inti dari kuatnya sebuah peradaban. Akibatnya, manusia terus hidup dengan diperbudak oleh teknologi. Asumsi ini jelas sangat berdasar, kita lihat saja dari hal yang paling kecil. Ketika manusia tidak menemukan smartphone- nya di saat bangun tidur pagi, maka ia energy positif untuk segarnya kehidupannya hari itu telah terkuras untuk memikirkan di mana letak benda kesayangannya itu. Hingga persoalan besar seperti lumpuhnya sistem

Tentang Inovasi Daerah : Apakah Pemerintah Masih Dibutuhkan?

Kebijakan dan Regulasi terkadang merusak geliat perekonomian. Inovasi yang sulit tumbuh dan berkembang, rapuhnya sistem dan kelembagaan ekonomi, membuat ekonomi menjadi melambat serta berpotensi mengarah kepada kemunduran. Apakah pemerintah sudah betul-betul dibutuhkan? Apakah Kebijakan benar-benar menjadi stabilitasator dan fasilitator terhadap pertumbuhan ekonomi atau malah sebaliknya? Akhir-akhir ini, publik dihebohkan dengan kabar tak mengenakkan dari salah satu kepada desa di Provinsi Aceh. Di mana seorang Kepala Desa yang mampu mengembangkan bibit padi, dipolisikan karena sudah menjual bibit yang tak bersertifikat. Hal ini tentunya menjadi sebuah catatan penting betapa rapuhnya kelembagaan pemerintah di negeri ini karena menunjukkan kekuatannya pada inovasi-inovasi kecil yang tumbuh dari masyarakat. Dengan alasan belum disertifikasi, sebuah inovasi menjadi layu , atau bahkan “dilayukan”sebelum berkembang. Fenomena ini sebenarnya menunjukkan bahwa tidak efektifnya per

Rumah Gadang Koto Marapak : Destinasi Impian Dengan Edukasi Dan Kenangannya

photo by : Mohammad Aliman Shahmi Ketika tren berwisata terus meningkat,masyarakat mulai menyadari bahwa wisata itu tidak sekadar bermain, bersantai, serta memanjakan mata dan rasa pada sebuah atraksi di sebuah destinasi dan objek wisata. Namun, wisata semakin dikenal sebagai sebuah aktivitas yang mengedepankan sisi pengalaman ( experience ) dan edukasi. Oleh sebab itu kita saat ini mengenal istilah-istilah terkait kegiatan wisata seperti eduwisata, agrowisata, atau wisata minat khusus. Di mana yang sama-sama kita ketahui bahwa kegiatan wisata seperti ini adalah kegiatan yang eksklusif, penuh makna, dan ada hal baru yang bisa ditemukan dari kegiatan tersebut. Konsep wisata ini banyak sekali terdapat di ranah Minang, di antaranya adalah Rumah Gadang. Jangan berfikir dahulu, wisata Rumah Gadang di sini hanya yang memperlihatkan nilai estetika seperti di Istano Basa Pagaruyung atau Rumah Gadang di    kampung seribu Rumah Gadang di Solok Selatan, namun konsep wisata di Rumah Ga

Rumah Gadang dan Globalisasi

Rumah Gadang dan Globalisasi oleh: Iron Maria Edi   Rasa keterbelakangan budaya dewasa ini menyeruak di relung hati anak Minangkabau, manakala Rumah Gadang yang merupakan simbol komunal masyarakat Minangkabau yang diikat dengan kekerabatan Genealogis Matrilineal dan Teritorial satu demi satu runtuh dan lapuk dimakan zaman. Tangganya yang perlahan rapuh, lantai yang semakin berlobang, dinding yang juga mengalami pelapukan, atap yang juga tidak terbendung ketirisan memastikan bahwa perlahan dan pasti Rumah Gadang itu semakin menghilang dilingkungan kampung halaman anak Minangkabau.   Begitu juga susunan yang berjajar antara ruang privat Padusi Minangkabau yang berupa Biliak dengan keluarga kecilnya, dan ruang publik keluarga yang berupa ruang besar, ruang publik yang lebih luas lagi yang berupa halaman, dan dan ruang komunal dengan ikatan - ikatan Sajangka, Saheto dan Sadapo dalam bakampuang halaman seakan tertinggalkan dengan ruang yang lebih luas di perkembangan zaman. Ruang

Pilkada Agam dan Ego Sektoral

Oleh : Rio Friyadi " Parang kampuang, tagak dikampuang ". Sebuah frasa yang cukup akrab ditelinga masyarakat pada momen Pilkada ini. Terlebih masyarakat Agam. Hingga Pilkada berakhir, frasa ini akan selalu disemarakkan terutaman oleh timses yang ingin menyasar segmen masyarakat yang memiliki ego sektoral yang tinggi.   Frasa parang kampuang, tagak dikampuang merupakan ajakan untuk berdiri diatas kampung halaman sendiri saat terjadi pertarungan. Pada momen Pilkada ini diartikan sebagai ajang memilih kandidat yang berasal dari asal masyarakat itu sendiri. Setidaknya ada dua basis sektoral, pertama basis agam barat dan timur dan kedua basis Kecamatan.   Salahkah frasa tersebut? Ada salahnya dan ada pula sisi yang dapat dibenarkan. Salahnya cukup jelas, bahwa Pilkada Agam adalah momen mencari pemimpin yang bertanggungjawab kepada Kabupaten Agam secara keseluruhan. Maka orientasi utama dalam memilih pemimpin adalah siapa yang terbaik di Agam, jadi mau di Barat maupun tim