Akhir-akhir ini, pembicaraan masyarakat mengenai salah satu instrumen ekonomi Umat, begitu keras terdengar. Kita belum usai tentang optimalisasi wakaf terhadap penguatan kesejahteraan ummat, publik dihebohkan dengan adanya upaya pemerintah untuk menggerakkan wakaf secara nasional. Jika difaham ini dalam ranah pikiran positif, maka negara cukup peka dengan permasalahan ummat Islam yang saat ini memang kebingungan dalam memanfaatkan harta yang berlebih.
Masalahnya, upaya negara dalam menggerakkan salah satu unsur perekonomian Islam ini tidak disambut dengan kebahagiaan oleh seluruh ummat. Pasalnya, asumsi yang kuat muncul dengan menempatkan pemerintah hanya ingat untuk memanfaatkan wakaf ini di saat kondisi keuangan negara dengan beban utang yang semakin meningkat. Kalau tak salah dengar dan tak salah baca, utang negara saat ini sudah menyentuh level 6000 Triliun atau lebih dari sepertiga ukuran perekonomian negara ini.
Meskipun sudah dijelaskan berkali-kali bahwa Wakaf tidak masuk ke kas negara, masyarakat masih tidak percaya terhadap pemerintah. Barangkali, di mata masyarakat integritas pemerintah sudah sangat rapuh, terutama selepas korupsi bansos beberapa waktu yang lalu. Ditambah lagi, masyarakat masih banyak yang tidak menyukai orang-orang yang menjabat saat ini.
Perkara ini sejatinya adalah hal yang lumrah. Jika dilihat dari perspektif ekonomi politik, masyarakat memiliki pegangan nilai yang sangat kuat sehingga sulit untuk memberikan kepercayaan kepada pemerintah untuk memimpin gerakan “ekonomi Islam” ini, tak peduli wakil Presiden saat ini adalah seorang ulama besar.
Kendatipun demikian, penolakan terhadap gerakan yang diusung oleh pemerintah ini janganlah mengalihkan pemikiran kita tentang bagaimana mengoptimalkan wakaf ini. Jika saat ini dikatakan Indonesia memiliki potensi wakaf sebesar 2000 Triliyun, ketika kita menolak pemerintah untuk menggerakkannya, pertanyaannya adalah apakah umat Islam secara swadaya sudah mampu dalam mengoptimalkan manfaatnya dan tentu saja memiliki solidaritas yang kuat untuk memanfaatkannya?
Nah, kita arahkan pada satu contoh. Pembangunan masjid adalah salah satu bentuk penggunaan harta wakaf yang selama ini dipandang sebagai bentuk tonggak “peradaban masyarakat” di suatu negeri. Mengapa dikatakan sebagai tonggak peradaban? Karena hingga saat ini keberadaan masjid masih dipandang sebagai titik tumpu dalam menilai apakah masyarakat masih memiliki kehidupan atau tidak. Tidak penting apakah masjid itu sepi dari jamaah, namun ketika kumandang adzan masih terdengar, maka di sana masih ada tanda-tanda kehidupan.
Oleh sebab itulah, ketika himbauan shalat di rumah di awal Pandemi dulu, masyarakat banyak mempertentangkan hal tersebut karena sungguh akan terjadi malapetaka besar jika orang dianjurkan untuk tidak ke masjid.
Nah, persoalannya di sini adalah keterkaitan Wakaf dan masjid di saat Wakaf untuk membangun masjid. Ia berhenti di satu saja, karena tiadanya upaya dalam melanjutkan fungsi harta tersebut dengan “Masjid membangun”. MASJID MEMBANGUN bisa difahami bahwa masjid sebagai sentra pembangunan. Jika kita pulangkan pembangunan ini pada makna yang asalnya, maka dapat difahami bahwa masjid ini harus difungsikan sebagai fungsi pembangunan ekonomi ummat, pusat pendidikan karakter yang berkualitas, pusat kesehatan ummat, serta tempat ummat mengadu di saat tiada mendapatkan keadilan di dalam kehidupannya.
Masjid bukan tidak memiliki hal itu semua, kita sama-sama mengetahui bahwa banyaknya infaq dan shadaqah terkumpul di masjid, dan hampir semua masjid besar apakah itu di kota atau pun dipedesaan memiliki nominal kas yang sungguh fantastis. Surplus keuangan masjid ini, sejatinya bisa dikatakan sebagai suatu beban, terutama ketika banyak masyarakat yang hidup di sekitar masjid mengalami keprihatinan akan kesejahteraanya.
Mengenai pendidikan karakter, Ini sudah jelas bahwa ajaran Islam yang dipraktikkan dengan sedemikian rupa kepada generasi yang ada, kemudian diberikan penanaman nilai-nilai keislam dan kemasyarakatan secara umum sehingga anak-anak yang dekat dengan masjid memiliki karakter yang kuat. Masih ingat dengan pola pendidikan surau dahulu?
Nah, jika melihat frasa “Masjid Membangun” ini, sepatutnya kita tidak perlu khawatir hingga menolak gerakan wakaf oleh pemerintah karena kita sudah memiliki formula yang kuat dalam menggunakan dana-dana yang bersumber dari ummat ini. Kita sudah siap dengan solusi yang jitu untuk mencapai kesejahteraan ummat dengan model “ WAKAF DAN MASJID MEMBANGUN” ini. Nah, pertanyaannya saat ini adalah apakah kita sudah begitu kuat pemahaman dan kesadaran akan hal tersebut, atau kita hanya sibuk dengan perkara-perkara yang menghebohkan yang hanya berkaitan dengan sisi “suka-tidak suka” yang kita junjung selama ini?
Mohamma Aliman Shahmi
Founder Dangau Tuo Institute
Comments
Post a Comment
Terima Kasih