Pariwisata merupakan sektor perekonomian yang cukup berpengaruh terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah setelah pertanian dan perdagangan. Apalagi bagi daerah yang tidak memiliki kecocokan untuk pertumbuhan industri manufaktur, keberadaan pariwisata bisa dianggap sebagai tonggak kegiatan perekonomian utama untuk mewujudkan kesejahteraan, kemajuan, serta peningkatan jumlah devisa. Oleh karena itu, calon kepada daerah yang akan memimpin daerah dengan karakteristik yang demikian harus menetapkan program unggulan terkait pariwisata yang lebih relevan dan efektif.
Sumatera Barat sebagai salah satu daerah dengan karakteristik yang cocok untuk pengembangan pariwisata, sepatutnya harus memiliki formula kebijakan dan program yang tepat saat merumuskan segala hal yang berkaitan dengan penguatan industri pariwisata. Program atau kebijakan yang ditetapkan harus berkenaan dengan bagaimana membentuk iklim serta karakteristik pariwisata yang menarik wisatawan, terutama wisatawan mancanegara.
Namun, perspektif tentang dunia pariwisata yang dikemukakan masih tetap terpaut pada objek yang dikunjungi, bukan tentang apa alasan atau yang menjadi tujuan suatu tempat itu dikunjungi. Saya mengamati salah satu program unggulan dari calon kepala daerah yang masih menyasar penguatan, revitalisasi objek wisata. Padahal, program yang demikian sejatinya masih jauh dari substansi pariwisata yang sesungguhnya. Paradigma lama yang masih dipelihara, dan sejujurnya jika pariwisata masih tertumpu pada objek wisata dan bagaimana upaya memunculkan objek wisata yang baru, pariwisata sepenuhnya tidak akan menimbulkan dampak yang signifikan terhadap percepatan pembangunan ekonomi pada suatu daerah.
Lantas, apakah sesungguhnya yang harus diperhatikan jika hendak memajukan pariwisata? Pertama, melihat pariwisata itu sebagai sebuah destinasi, bukan objek. Destinasi sudah berbicara tentang identitas, konsep, dan nilai. Pada saat suatu daerah dipandang sebagai sebuah destinasi, maka di dalam sudah terdapat kekhususan nilai, identitas kedaerahan yang menjadi daya tarik orang untuk berkunjung, serta konsep kepariwisataan yang tak lepas dari Sapta Pesona dan Darwis (sadar wisata). Kita bisa menempatkan pandangan ini ketika seorang Tourist/Traveller diberikan kepadanya informasi tentang suatu daerah. Misalkan, disebutkan kepadanya tentang Nagari Kamang Hilia, maka yang sudah ada dibenaknya adalah agrowisata Durian, objek wisata Bukik baka, karupuak kamang, dan wisata sejarah Perang Kamang. Dengan demikian, Kamang Hilia sudah dipandang sebagai suatu destinasi yang komplit dengan konsep pariwisata berkelanjutan yang mengusung identitas khas masyarakat Kamang.
Kemudian, memandang Pariwisata sebagai sebuah industri. Di mana di dalamnya sudah berkaitan dengan akomodasi (penginapan, kuliner, pelayanan jasa kepramuwisataan) , Transportasi, dan Atraksi (objek wisata). Sehingga, jika menyasar optimalisasi industry pariwisata, sesungguhnya telah berupaya memperkuat pembangunan ekonomi dengan sasaran dan konsep yang jelas.
Kesalahan yang terpelihara selama ini yang menyebabkan pariwisata itu lesu adalah ketika pemerintah daerah lebih menyasar revitalisasi objek wisata saja. Sehingga, sulit membangun iklim bisnis di sektor ini karena sub bagian lain dari industri pariwisata tidak terbangun dengan kuat. Kita misalkan saja, ketika orang-orang ramai berkunjung ke Puncak Lawang, namun wisatawan tetap menggunakan jasa pramuwisata dari HPI Bukittinggi, menginap di hotel Bukittinggi, dan makan di rumah makan yang ada di Bukittinggi. Mengapa demikian? Karena sedari awal wisatawan sudah menjadikan destinasi wisata itu adalah Bukittinggi, bukan Agam. Sehingga, Agam yang sejatinya memiliki potensi yang lebih kompleks, tidak mendapatkan dampak yang signifikan. Jadi, Ketika Agam bangga dengan jargon “ Agam dengan Pesona nan beragam”, namun tidak mampu mengoptimalkannya hingga “ pendapatan dan pembanguan nan beragam”.
Nah, masihkah kita terpaut pada paradigm lama?
Comments
Post a Comment
Terima Kasih