Sikap
optimis adalah perkara penting dalam hidup manusia yang menjadi sandaran dalam
melanjutkan kehidupan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa manusia senantiasa
membutuhkan energi positif untuk mempertahankan kehidupannya. Selain daripada
itu, Optimistis yang merupakan energi positif ini mampu mengarahkan manusia
untuk melakukan hal yang benar, serta menghindari sikap kesewenangan terhadap
kebenaran itu sendiri. Sehingga, dengan sikap optimis ini manusia mampu
mencapai hakikat kehidupan yang sesungguhnya.
Berangkat
dari hal tersebut, kita bawakan aspek pemikiran tersebut pada kondisi dunia
saat ini yang tengah dirundung permasalahan besar yang belum menunjukkan
tanda-tanda untuk reda. Ya! Persoalan Pandemi wabah virus covid-19 yang telah
menyeret manusia pada rasa takut, kebingungan, dan kepanikan. Tercatat bahwa
hingga saat ini, persentase kematian dari wabah ini pada tingkat dunia sudah
mencapai 5%, meningkat dari kondisi di pertengah Maret yang masih berada di
level 3%. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan keparahan. Hal ini
memang cukup memberikan kepanikan kepada kita bahwa, angka kematian terus
mengalami peningkatan.
Namun, jika
kita melihat fakta itu saja, maka tentu saja akan sulit untuk membangkitkan
rasa optimis dan percaya diri dalam menjalani hidup. Bisa saja kita akan larut
dalam ketakutan, atau bahkan kita bisa menjadi manusia yang hidup di dalam
keputus-asaan. Kita perlu melihat fakta lain yang menyebutkan bahwa persentase
kesembuhan dari wabah ini sudah mencapai 20% yang artinya harapan hidup manusia
masih cukup tinggi.
Dalam
perspektif agama, wabah dipandang dalam beberapa perspektif yang di antaranya adalah
wabah sebagai ujian keimanan, wabah sebagai peringatan keras dari Tuhan, atau
wabah sebagai adzab bagi manusia yang lalai dan mengingkari perintah agama. Well, dari beberapa perspektif tersebut
tidak bisa dipastikan wabah ini muncul dikarena perkara yang mana, Ujian,
Peringatan, atau Adzab. Namun, dalam ketidakpastian mengenai perkara ini,
manusia malah mengambil tindakan tidak pantas dengan melakukan pencocokan
dengan fenomena lainnya, kemudian merumuskan kesimpulan yang sesukanya. Sikap
manusia yang suka mengkambing-hitamkan manusia lain sebagai penyebab dari
sebuah kondisi, mengantarkan manusia pada pandangan yang menyatakan bahwa wabah
adalah adzab dari Tuhan.
Kesembronoan
dalam memutuskan kesimpulan inilah yang menjadikan manusia sulit mengambil
sikap yang tepat. Ada yang kemudian sibuk menyalahkan kemudian menyimpulkan
bahwa wabah hanya menyerang mereka yang enggan untuk beribadah, ahli maksiat.
Akibatnya, ketika adanya himbauan atau bahkan fatwa yang menegaskan untuk
mengalihkan ibadah dari rumah ibadah ke rumah, masyarakat malah mengabaikan dan
bahkan menentangnya dengan alasan wabah tidak akan masuk ke dalam tempat ibadah
dan menyerang orang-orang yang ahli ibadah. Ini adalah bukti bahwa agama tidak
difahami dan diterapkan secara menyeluruh, sehingga manusia tidak tertuntun
oleh agama dalam mengambil sikap positif.
Sejatinya,
jika manusia memahami bahwa agama memiliki tuntunan yang lengkap, maka manusia
akan mengambil langkah yang tepat dalam setiap kondisi. Sebagaimana halnya
ketika Nabi Muhammad mengarahkan ummat untuk menjauhi wabah seperti halnya
menjauhi bahaya yang ditimbulkan oleh Harimau, atau menahan diri untuk
bepergian ke dan dari kawasan yang dilanda wabah, serta tetap memahami wabah
ini sebagai ujian keimanan di mana ketika manusia mampu melewati hal tersebut,
maka manusia akan mencapai derajat yang lebih tinggi. Apabila melihat kenyataan
yang demikian, dapat dipastikan bawah agama memiliki intisari yang mengarahkan
manusia untuk berhati-hati, logis, dan tentunya mengarahkan manusia pada sikap
optimis yang kuat.
Rumusan Politik Dalam Mengatasi dan
Mengentaskan Wabah
Ketika
melihat dari perspektif politik, maka kita tidak bisa lepas dari kebijakan yang
diambil serta bagaimana pelembagaan dari kebijakan tersebut hingga mampu
mencapai eksogenitas yang kuat, yang berarti sebuah kebijakan mampu mengatur
kehidupan manusia serta mengarahkannya kepada hal yang lebih baik.
Jika dirunut
kembali prinsip ekonomi politik yang dinyatakan Jhon Stuart Mill (1863), Suatu
negara harus memahami dan memenuhi kebutuhan orang banyak serta mengarahkan
kebijakannya untuk kebaikan dalam jangka panjang. Pemangku kebijakan harus
mampu memahami pertimbangan nilai yang diambil, sehingga tidak menimbulkan
dampak besar yang malah mengantarkan manusia pada kerugian berkelanjutan.
Tidak bisa
dipungkiri bahwa, setiap kebijakan menimbukan Trade-Off yang berarti setiap kebijakan yang ditempuh akan
menimbulkan konsekuensi yang pada kondisi yang lain. Ketika pemerintah
memutuskan untuk lock-down tidak bisa
dihindari bahwa ada semacam dampak ekonomi dan sosial yang tentunya akan
merugikan banyak pihak. Namun, jika Pemerintah tidak melakukan kebijakan
tersebut, maka akan mempercepat penyebaran wabah dan tentunya akan membahayakan
kehidupan orang banyak.
Situasi ini
harus difahami dalam pertimbangan jangka panjang. Hal tersebut mutlak dan harus
difahami oleh pengambil kebijakan dan difahamkan kepada masyarakat sebagai objek
kebijakan. Pertimbangan harus dilakukan secara menyeluruh, baik secara
struktural, maupun kultural.
Sebuah
kebijakan harus kuat secara struktural, sehingga mampu berintegrasi dengan sisi
kultural yang ada di tengah masyarakat. Bisa saja pemerintah tetap mengambil
kebijakan lock-down, namun harus dilakukan kebijakan pengiring,
misalkan saja mengharus masyarakat yang berpengasilan lebih untuk melakukan “gotong-royong”
ekonomi, sehingga kekhawatiran masyarakat akan keberlanjutan kehidupan ekonomi
mereka tidak ada.
Namun, harus ditegaskan juga bahwa pengambil
kebijakan in harus menempuh pola komunikasi politik dan komunikas publik yang
kuat agar tidak menimbulkan polemik di tengah masyarakat, seperti yang
dilakukan oleh Jubir Kementrian Kesehatan Republik Indonesia beberapa waktu
yang lalu terkait si kaya dan si misikin.
Mohammad Aliman Shahmi
Dangau Tuo Institute
Comments
Post a Comment
Terima Kasih