Sekilas Pandang, Tan
Malaka memiliki nama lengkap Ibrahim Datuak Tan Malaka. Beliau lahir di
Kenagarian Pondan Godang, Kecamatan Suliki Luhak Lima Puluh Kota pada tahun
1897. kemudian wafat pada tanggal 19 Februari 1949. Koran Tempo dalam edisi
khusus menyebutkan bahwa Tan Malaka terbunuh di tangan tentara negara yang
sangat dicintainya. Tragedi Kematian Tan Malaka ini pada kemudian hari membuat
Bung Hatta memecat Suengkono sebagai panglima divisi Jawa Timur dan Soeracmad
sebagai komandan Brigade.
Tan Malaka adalah orang
pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin memberinya gelar
“Bapak Republik Indonesia”, dengan berkomentar, “tak ubahnya Jefferson
Washington merancang Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaan tercapai,
atau sebagai Rizal-Bonifacio meramalkan Republik Filipina sebelum revolusi
Filipina pecah...”.
Sukarno menyebutkan
bahwa Tan Malaka adalah tokoh yang mahir salam revolusi dan mempercayainya
dengan memberi surat wasiat\testatemen. Bahkan buku Naar De Republik Indonesia
dan Massa Aksi karangan beliau menjadi bacaan wajib Sukarno dan pemimpin
Indonesia lainnya. Bahkan menurut Hadidjojo Nitimiharjo, lagu Indonesia Raya
ciptaan W.R Supratman pun terinspirasi pada bagian Buku Massa Aksi. Pada
tanggal 28 Maret 1963 dengan berdasarkan surat keputusan presiden Republik
Indonesia No. 53, Sukarno menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan Kemerdekaan
Nasional.
Tan Malaka adalah seorang
pemikir yang menerjunkan dirinya
ke dalam dunia Marxis. Tan Malaka memiliki pemikiran untuk menerapkan sistem
ekonomi sosialis di Indonesia. Pemikirannya tersebut beliau namakan dengan
“Rencana Ekonomi” yakni menjelaskan bagaimana produksi dan distribusi sebuah
negara harus diatur sedemikian rupa. Beliau menegaskan bahwa kalau ekonomi
tidak diatur secara terencana, maka yang akan terjadi adalah sikap prilaku
hidup boros sebagai mana yang dipraktekkan oleh kaum kapitalis.
Dalam Rencana Ekonomi
Berjuang, Tan Malaka juga menjelaskan bagaimana cara menciptakan penghasilan layak terhadap para
kaum buruh, bagaimana negara memposisikan diri dalam menjaga hak-hak kaum buruh
serta distribusi pendapatan bagi buruh sehingga tujuan dari pemerataan ekonomi
dapat terwujud.
Menurut Tan Malaka,
kemakmuran sebuah Negara bisa tercapai dengan memakmurkan rakyatnya yang
tertindas dan memelihara mereka. Tan Malaka dalam Rencana Ekonomi Berjuang
menyebutkan, “Dalam ekonomi yang betul-betul dijalankan buat kemakmuran
(proletar/Mustad’adfin), sudahlah tentu “tenaga” itu mesti dipelihara
baik-baik. Sebisa mungkin ditambah nilainya dengan menambah kodrat dan
sifat-baiknya. Dipelihara makan dan minumnya si pekerja, dipelihara rumah dan
kesehatanya serta di gembleng otak dan tenaganya. Dengan begitu tenaga itu naik
banyak (quantiteid) dan sifatnya. Itulah yang memakmurkan Negara”.
Dari argumentasi di
atas, Tan Malaka hendak menegaskan penghasilan yang layak dan adil bagi buruh
Indonesia adalah keharusan. Karena nasib buruh di Indonesia dapat diperbaiki
dengan jalan menaikkan gaji para buruh yang sepadan dengan memperhatikan harga
barang sehari-hari. Ketika penghasilan yang layak dan adil ini terwujud maka
daya beli masyarakat akan terjaga. Selain itu penghasilan mereka dapat
dialokasikan untuk kepentingan menabung dan berinvestasi pada gilirannya
pertumbuhan ekonomi yang stabil dapat terwujud. Tentu hal ini tidak akan dapat
terealisasi apabila negara tidak berpihak terhadap kaum buruh.
Dalam konteks modern
saat ini keberpihakan negara terhadap buruh dapat terealisasikan dengan
berbagai macam cara. Keberpihakan negara terhadap buruh dengan menyiapkan
seperangkat regulasi agar perusahaan-perusahaan tidak bersikap sewenang-wenang
terhadap pekerja. Apakah itu sewenang-wenang dalam menetapkan upah atau
sewenang-wenang dalam hal memberhentikan para buruh. Artinya dalam relasi
negara, perusahaan dan buruh/pekerja, Negara harus hadir dalam melindungi
hak-hak para buruh/pekerja.
Lantas bagaimana
mewujudkan keberpihakan negara terhadap buruh di tengah Pandemi?
Hari ini di tengah
Pandemi, ada 2 jutaan buruh yang terancam penghasilannya. Maka keberpihakan
negara secara tidak langsung terhadap buruh adalah menyiapkan seperangkat
kebijakan yang dapat menjaga kapasitas produksi nasional, artinya negara harus
memastikan perusahaan-perusahaan yang menyerap tenaga kerja tidak tutup selama
Pandemi. Karena ketika perusahaan tutup otomatis akan semakin banyak lagi para
buruh/pekerja yang terkena dampaknya.
Selain itu negara juga
seharusnya dapat memberikan insentif tunai terhadap para buruh/pekerja yang
terdampak pandemi melalui pengeluaran pemerintah. Bukannya dengan alokasi Rp
5600 Miliar yang hanya digunakan untuk membeli video-video di dalam kartu
Pra-kerja. Karena Treatment yang ditempuh seperti itu benar-benar tidak dapat
dijustifikasi dari kacamata keadilan dan kelayakan. Treatment tersebut benar-benar
tidak kontekstual. Saya kira kebijakan ini masih bisa dipertimbangkan
pembatalannya, bukan?? Itupun kalau memang negara berpihak kepada kaum buruh?
Emang selama ini berpihak?
Hardiansyah
Padli, ME
Economist, Dangau Tuo Institute
Comments
Post a Comment
Terima Kasih