Pada abad ke-20 nama besar
seperti Paolo Freire dan Ivan Illich terdengar nyaring di telinga kaum aktivis
terutama para pemikir yang bergelut di bidang Pendidikan. Bagaimana tidak,
kritikan kedua tokoh pendidikan aliran anarkisme ini begitu mengguncang dunia
pendidikan. Nilai pendidikan yang selama ini diyakini mengandung nilai
kebajikan justru dibalik itu semua terdapat bentuk-bentuk penindasan. Bahkan
mereka berujar bahwa seringkali pendidikan dijadikan sebagai legitimasi bagi
kelompok yang berkuasa untuk melakukan penindasan. Gagasan kedua tokoh ini
benar-benar menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini dianggap
sakral ternyata menyajikan nilai-nilai dehumanisasi kehidupan.
Fenomena pendidikan di atas
ternyata jauh hari sudah dialami oleh bangsa Indonesia. Indonesia yang dijajah
kurang lebih 350 tahun diwarnai oleh sistem pendidikan yang cenderung rasis
atau berdasarkan kelas-kelas sosial. Dia lah Tan Malaka yang kemudian berjuang
melawan imperialisme penjajahan dan sistem pendidikannya. Tan Malaka menggugah
kesadaran bangsa Indonesia pada masanya tentang arti penting pendidikan.
Pendidikan di sisi lain dapat menjadi alat untuk melanggengkan hegemoni
kelompok berkuasa tapi di sisi lainnya dapat menjadi alat untuk mendobrak
hegemoni tersebut.
Bagi seorang Tan Malaka, hal penting yang
harus segera dituntaskan selain melawan imperialisme adalah membawa rakyat
Indonesia keluar dari paham-paham mistisme. Logika dan pemahaman ilmiah
merupakan modal penting yang ingin dikenalkan Tan Malaka bagi bangsa Indonesia untuk
keluar menjadi bangsa yang bebas dan maju di masa yang akan datang.
Ikhtiar beliau melakukan
perlawanan terhadap imperialisme melalui pendidikan beliau wujudkan di sekolah
Sarekat Islam. Sekolah SI berprinsip bahwa hawa (geest) harus lebih
sehat dan memiliki karakter ketimuran, sehingga kontras berbeda dengan
sekolah-sekolah yang ada di Eropa. Anak-anak didiknya dituntut keras untuk
mencari kepandaian membaca, menulis dan berhitung sebagai modal penghidupan.
Apabila konsep pendidikan Tan Malaka ini dibawa dalam konteks kekinian maka
amatlah sederhana sekali, tetapi hal tersebut merupakan sebuah pencapaian luar biasa pada masa Tan Malaka merintis
sekolah SI.
Setidaknya Tan Malaka dalam SI Semarang dan Onderwijs (1921)
merumuskan tiga tujuan pendidikan yang menjadi dasar perjuangan pendidikan berbasis
prinsip kerakyatan yaitu:
Pertama, Memberi senjata
cukup, buat pencarian penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis,
ilmu bumi, Bahasa Belanda, Jawa, Melayu).
Kedua, Memberi haknya
murid-murid yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (verenigging).
Ketiga, Menunjukkan
kewajiban kelak, terhadap berjuta-juta Kaum Kromo.
Bahkan di dalam Magnum
Opus-nya Tan Malaka yaitu Madilog (Materialisme, dialektika dan Logika)
menggagas konsep Pembangunan Bangsa melalui Pendidikan dan dilaksanakan dalam 3
Minimum Program, yakni:
1. Wajib belajar bagi anak-anak semua warga negara Indonesia
dengan cuma-cuma sampai umur 17 tahun dengan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa
pengantar dan Bahasa Inggris sebagai Bahasa asing yang terutama.
2. Menghapuskan sistem pelajaran sekarang dan menyusun sistem
yang langsung berdasarkan atas kepentingan-kepentingan Indonesia yang sudah ada
dan yang akan dibangun.
3. Memperbaiki dan memperbanyak jumlah sekolah-sekolah
kejuruan, pertanian, dan perdagangan dan memperbaiki dan memperbanyak jumlah
sekolah-sekolah bagi pegawai-pegawai tinggi di lapangan teknik dan
administrasi.
Tan Malaka atau Ibrahim Datuak Tan Malaka, bapak bangsa yang
berasal dari Kenagarian Pondan Godang, Kecamatan Suliki Luhak Lima Puluh Kota
wafat pada tanggal 19 Februari 1949. Tan Malaka terbunuh di tangan tentara
negara yang sangat dicintainya. Tragedi Kematian Tan Malaka ini pada kemudian
hari membuat Bung Hatta memecat Suengkono sebagai panglima divisi Jawa Timur
dan Soeracmad sebagai komandan Brigade.
Tan Malaka meninggalkan
sejumlah karya seperti Gerpolek, Massa Aksi, Rencana Ekonomi Berjuang, lalu Madilog
(Materialisme, Dialektika dan Logika) buah karya yang paling fenomenal dan
diakui oleh Poeze sebagai gagasan filsafat bangsa Indonesia yang pertama.
Kemudian karya lainnya dari Tan Malaka seperti pendidikan anti-imperialisme dan
pendidikan kerakyatan berkarakter ke Indonesiaan sebagai landasan filosofi
dalam pembangunan pendidikan pada masa itu. Ironisnya, buah pemikiran Tan
Malaka yang indigenous bangsa Indonesia sampai saat ini seringkali hanya
menjadi catatan sejarah dan bahkan tak banyak anak-anak muda yang kenal dengan
Tan Malaka saat ini.
Pada momentum hari
Pendidikan Nasional ini, penulis mengutip salah satu petuah Tan Malaka sebagai
nasehat bagi kaum muda, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan
menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat
yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka
lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”. Selamat Hari
Pendidikan!!
Economist, Dangau Tuo Institute
Comments
Post a Comment
Terima Kasih