Nilai
tukar sebuah mata uang pada dasarnya mencerminkan harga dari mata uang itu
sendiri. Karena pada prinsipnya nilai tukar ditentukan oleh kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply) antara dua mata uang
masing-masing negara. Contoh: Rupiah dan Dolar Amerika. Perbandingan dua mata
uang ini biasanya dihitung dalam jumlah satuan atau kurs, seperti 1 USD senilai
dengan Rp 15.000.
Nilai
tukar yang ditentukan oleh pasar senantiasa berubah-ubah nilainya, tergantung
pada kebutuhan dan ketersediaan mata uang tersebut. Apabila kebutuhan mata uang
seperti dolar meningkat maka nilainya akan menguat dari uang rupiah. Demikian
pula, apabila kebutuhan mata uang seperti dolar berkurang, maka nilainya akan
melemah dari rupiah.
Lantas
apa yang menjadi penyebab permintaan terhadap mata uang meningkat?
Faktor
fundamental yang menjadi penyebab permintaan terhadap mata uang asing seperti
dolar meningkat adalah kebutuhan mata uang tersebut untuk transaksi pembelian
barang dan jasa dari luar negeri (impor) dan pembayaran utang luar negeri. Jika
suatu negara lebih banyak mengimpor barang ketimbang memproduksi barang di
dalam negeri maka negara tersebut automatically membutuhkan mata uang asing
lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Demikian pula ketika sebuah
negara memiliki banyak utang luar negeri maka kebutuhan atas mata uang asing
merupakan sebuah keniscayaan. Dapat disimpulkan bahwa, “permintaan atas dolar
yang begitu tinggi akan berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah.
Selain
itu, penguatan atau pelemahan mata uang dapat juga dipengaruhi oleh faktor
global seperti penguatan ekonomi di Amerika dan pelemahan ekonomi Tiongkok. Apabila
terjadi penguatan ekonomi di Amerika Serikat, biasanya Bank Sentral Amerika
Serikat berencana menaikkan suku bunga sehingga berimplikasi pada tertariknya
mata uang dolar dari negara-negara lain untuk kembali ke Amerika Serikat.
Imbasnya adalah menguatnya nilai mata uang dolar terhadap hampir seluruh mata
uang negara-negara lain tadi termasuk dalam hal ini Indonesia.
Demikian
pula ketika Tiongkok melambatkan laju perekonomian, hal ini berakibat pada menurunnya
permintaan Tiongkok akan produk-produk negara berkembang sehingga ekspor atau
pasokan valuta asing bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia otomatis berkurang.
Jadi,
bagaimana agar mata uang Rupiah bisa stabil dan menguat? Caranya tentu
menyeimbangkan kebutuhan dan ketersediaan valuta asing di dalam negeri. Oleh
karena itu, pemerintah harus lebih banyak melakukan ekspor ketimbang impor baik
itu barang maupun jasa serta mengelola permintaan valas.
Secara
teknis Pemerintah melalui kebijakan di sektor riil menambah pasokan valas
melalui peningkatan ekspor, daya saing industri nasional, penguatan pendapatan
pariwisata, pengiriman TKI yang berkualitas, membangun infrastruktur dan
menciptakan iklim investasi yang kondusif agar sektor usaha menjadi lebih produktif.
Selain
memberikan stimulus terhadap peningkatan pasokan valas, kita juga harus
meminimalisir ketergantungan terhadap valas melalui pengurangan aktivitas impor
dan meningkatkan penggunaan produk dalam negeri. Di sisi lain Bank Indonesia
berupaya menjaga pasokan dan mengendalikan permintaan valas melalui intervensi
di pasar valas maupun pasar surat berharga negara, namun hal ini tentu
dilakukan secara bijaksana.
Oleh
karena itu, sangatlah dibutuhkan sejumlah rangsangan agar mata uang rupiah
tersebut menguat. Tindakan yang
mengurangi rangsangan justru akan melemahkan mata uang rupiah. Sudah seperti
penis saja bukan? Apa-apa harus dirangsang agar menguat eh....
Comments
Post a Comment
Terima Kasih