Kita mungkin
hidup dalam abad yang disebut Neil Postman sebagai “tekhnopoli” (technopoly),
yaitu dunia (kultural, politik atau ekonomi) yang dipengaruhi dan dibentuk oleh
teknologi.
Secara
kultural, teknopoli dimaksudkan sebagai menyerahnya kebudayaan terhadap
tekhnologi; atau lebih tepat disebut bahwa tekhnologi merajai segenap cara
berpikir dan bertindak dalam kebudayaan. Mau atau tidak, kita mesti menerima
dan menerapkan tekhnologi dalam hidup ekonomi, sosial dan politik, dan jika
ingin “berbicara” pada dunia, kita mesti mengikuti logika tekhnologi; logika
transparansi (lebih tepat logika vulgaritas), efisiensi, pragmatis, kecepatan,
logika simbol, merek dan tanda, dan seterusnya.
Secara
politik, tekhnopoli salah satunya berarti bahwa kekuatan “polis” atau negara di
masa ini ditentukan oleh penguasaan “tekhnologi”, dan siapa yang menguasai
tekhnologi dianggap sebagai penguasa dunia. Itulah sebabnya Trump tampak
paranoid dengan penemuan tekhnologi 5G Huawei China, yang memicu perang dagang.
Trump tahu bahwa kalah dalam tekhnologi bisa membawa kekalahan dalam hegemoni
politik; suatu bayangan yang kelam bagi seseorang yang dibesarkan dengan imaji
“God bless America”; bayangan keagungan Amerika sebagai negara adikuasa yang
diberkati Allah.
Secara
ekonomi, tekhnopoli mengindikasikan bahwa kekuatan ekonomi di masa ini bukan
terletak pada negara, namun terutama pada korporasi-korporasi yang menguasai
tekhnologi dan dapat beraksi secara efektif. Sistim yang demikian, seperti
mengantarkan kita ke era klasik, di mana sang penguasa pasar adalah yang menguasai
sumber daya dan teknologi. Jika di era klasik, penguasaan sumber daya adalah
hal utama, namun di era sekarang penguasaan teknologi merupakan hal utama yang
mampu menentukan penguasaan terhadap pasar. Jika dahulu yang berkuasa adalah
sang pemiliki modal (capital), namun di era teknologi ini, pemilik modal itu
berada di bawah kekuasaan teknologi. Bukankah para unicorn dan decacorn itu
lahir dari mereka yang bias dikatakan minim dalam hal permodalan?
Lalu
bagaimana kita mesti bersikap? Semua orang kini berlomba-lomba menguasai
teknologi. Kemajuan dan peradaban kini disimbolkan dengan penguasaan
tekhnologi. Hal ini tidak ada salahnya, bahkan semestinya diusahakan.
Soal yang
banal ialah bahwa slogan “penguasaan tekhnologi”, justru secara praktis berarti
“perbudakan oleh tekhnologi”. Kita tidak dapat menutup mata atas manfaat
tekhnologi, namun kita juga tidak dapat menutup mata terhadap ketergantungan
dan perbudakan oleh tekhnologi. Tantangan konkret yang agak sulit sebenarnya
bagaimana berusaha untuk menguasai tekhnologi, daripada dikuasai tekhnologi.
Satu hal
kecil dalam pendidikan berkaitan dengan tekhnologi mungkin bisa jadi catatan
akhir. Semakin sering saya saksikan anak-anak di pedalaman Flores sedemikian
terserap oleh mainan di “handphone”, dan dibiarkan saja oleh orangtuanya.
Mereka tidak perhatikan orang lain, dan orang-orang yang berkunjung di rumah
atau dan menyapanya seakan berada di luar “dunia”nya sendiri. Hal itu pun dianggap normal oleh orang tua
atau keluarga. Pendidikan paling penting bagi anak-anak berupa tata krama dan
perhatian terhadap orang-orang konkret di sekitar, yang sangat penting
ditekankan sebelum seorang anak menghargai nilai-nilai manusiawi besar yang
lain, dengan sendirinya lenyap. Masa-masa pembentukan nilai manusiawi kini
direnggut tekhnologi. Dengan ini, kita bisa saja melahirkan generasi yang
mungkin sangat mahir dalam tekhnologi, namun dikuasai tekhnologi dengan
mengabaikan soal-soal dan makna manusiawi.
Namun,
tampaknya perbudakan oleh tekhnologi bukan hanya terjadi pada anak-anak, namun
menjalar jadi ciri umum, yang tanpa sadar juga sering saya buat sendiri. Karena
kesalahan tetaplah kesalahan, walau diri sendiri dan massa membuatnya, maka
saya juga mesti bertobat. Kita dengannya mesti mulai belajar untuk menguasai
tekhnologi demi kemanusiaan, ketimbang mengabaikan banyak aspek kemanusiaan
karena tekhnologi.
Febri Trifanda
Comments
Post a Comment
Terima Kasih