Skip to main content

Saat Pemerintah Ber “Eksperimen” Melalui Kartu Pra-Kerja : Bermain-main Dengan Anggaran Di Tengah Pandemi



Formula kebijakan seumpama resep pada obat. Ketika Formula dipaksakan pada kondisi negara yang tidak siap, maka pemerintah seperti bermain-main dalam pengelolaan. Laksana dokter yang bermain-main dengan kesehatan pasien-nya. Dukun saja tidak begitu!- (M.A.S)

Kartu prakerja merupakan program peningkatan kompetensi kerja yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk pembiayaan pelatihan dan insentif pasca pelatihan. Ketentuan dari kartu ini adalah setiap peserta hanya bisa menerima bantuan sekali seumur hidup. Dari sisi anggaran, pemerintah telah menaikkan anggaran program kartu prakerja dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun. Sedangkan dari sisi penerima manfaat, pemerintah telah menambah 2 juta orang penerima menjadi 5,6 juta.

Adapun yang menjadi penerima manfaat dari kartu ini adalah masyarakat yang akan memasuki dunia kerja dan masyarakat korban PHK. Selain itu kartu prakerja ini diprioritaskan juga kepada para pekerja dan pelaku usaha kecil yang terdampak oleh pandemi covid 19. Jadi setiap orang yang lulus seleksi kartu prakerja akan memperoleh bantuan sebesar Rp 3,55 juta yang terdiri dari biaya pelatihan sebesar Rp 1 Juta, insentif bulanan sebesar Rp 600 ribu selama 4 bulan dan insentif survei kebekerjaan sebesar Rp 150 ribu. 

Di tengah masa darurat pandemi, ada banyak masyarakat korban PHK dan dirumahkan yang terdampak covid 19. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan per 11 April 2020 terdapat 2,8 Juta orang yang terdampak, mulai dari pekerja formal dirumahkan, pekerja formal ter-PHK sampai dengan pekerja informal terdampak. Tentu hal ini sangat tidak baik untuk kondisi perekonomian.

Kartu prakerja yang diprediksi sebagai solusi yang efektif bagi para pencari kerja pekerja korban PHK dikala pandemi, ternyata justru menuai kritik dan protes dari sejumlah kalangan. Dari sisi ketepatan dalam penggunaannya, kebijakan ini justru tidak tepat guna bahkan berpotensi sebagai bentuk pemborosan anggaran.

Banyak ahli yang menilai bahwa yang dibutuhkan oleh pekerja formal dan informal terdampak saat ini adalah insentif tunai, bukanlah program pelatihan seperti yang diberikan oleh kartu prakerja. Sebagaimana diketahui, program insentif pelatihan online yang awalnya ditujukan bagi lulusan sekolah atau universitas, saat ini dialihkan bagi korban para pekerja informal dan pekerja formal ter-PHK.

Menurut Ekonom Indef Bhima Yudhistira, seharusnya uang sebesar itu akan jauh lebih berguna apabila diberikan berupa insentif tunai, sehingga masyarakat yang terdampak pandemi bisa membelanjakannya sesuai kebutuhan. Hal ini ditambahkan oleh Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar Cahyono yang menyebutkan bahwa dalam kondisi saat ini, pelatihan berbasis online tidaklah efektif, ada baiknya yang diberikan adalah BLT sehingga uang yang ada bisa dibelanjkan. Dengan begitu roda perekonomian masyarakat tetap bergerak.

Selain itu, hal yang dikritik juga terkait dengan penggunaan dana sebesar Rp 1 juta, dimana uang tersebut harus dibelanjakan untuk membeli konten-konten yang ada di laman start up yang berisikan tentang materi-materi pelatihan online. Padahal ada banyak tutorial-tutorial online yang bisa didapatkan secara cuma-cuma dan isinya hampir mirip dengan materi pelatihan online yang ada pada kartu prakerja. Bisa dikatakan materi yang disediakan tidak sebanding dengan ongkos yang dikeluarkan.

Kartu Prakerja sebagai salah satu jenis pengeluaran pemerintah tentu sangat diharapkan sekali manfaatnya bagi masyarakat. Apalagi di tengah tekanan ekonomi akibat dari Pandemi Covid 19, dimana setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat termasuk roda perekonomian masyarakat mengalami kelumpuhan. Kehadiran pemerintah melalui insentif yang ada benar-benar diharapkan.

Dalam teori Keynes, cara untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi dan menekan angka pengangguran adalah dengan cara peningkatan pengeluaran pemerintah (Government Expenditure). Jadi dengan adanya pengeluaran pemerintah baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan akan memberikan pengaruh berupa peningkatan pada sisi penerimaan masyarakat melalui efek pelipatgandaan (Multiplier effect). Dengan adanya peningkatan penerimaan masyarakat, otomatis memberikan pengaruh terhadap tabungan dan konsumsi masyarakat dan pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat dan seterusnya mampu menstimulus supply side.

Penggunaan sejumlah dana untuk kebutuhan kartu prakerja ternyata hampir tidak memberikan efek terhadap sektor riil. Bagaimana tidak? Saldo yang diberikan pemerintah sebesar 1 juta digunakan untuk membeli konten di laman start up yang notabenenya tidak merangsang PDB kita. Bisa dikatakan dana tersebut nyaris tidak ada velocity-nya meminjam pernyataan Ekonom Econact Ronny P Sasmita.

Kenapa? Anda membuat 1 konten video, trus produk yang dibeli hanya itu saja, nyaris tidak ada efek penggandanya. Lain halnya ketika uang tersebut digunakan untuk membeli kebutuhan pokok guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saya kira hal itu lebih kontekstual dan menciptakan efek multiplier di tengah tekanan krisis ekonomi saat ini.
Coba dibayangkan efek penggandanya, orang membeli beras kepada pedagang di pasar, pedagang di pasar membeli beras dari pemasok, pemasok memperoleh beras langsung dari petani. Kemudian dengan pendapatan yang ada petani bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, selain itu petani juga bisa membeli bibit dan pupuk kepada penjual pupuk dan bibit, penjual pupuk membeli barang dari pemasok dan begitu seterusnya. Dengan begitu, setiap transaksi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi dihitung sebagai PDB.

Apabila pemerintah tetap mempertahankan pola realisasi kartu prakerja sebagaimana yang ada saat ini, maka treatment tersebut tidaklah kontekstual di tengah tekanan ekonomi oleh pandemi covid 19. Akan lebih bermanfaat lagi jika kartu prakerja dikonversi menjadi insentif tunai guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena hal itu lebih bermaanfaat bagi mereka bukan??

Hardiansyah Padli
Economist, Dangau Tuo Institute

Comments

Popular posts from this blog

Culture-Heritage Ranah Minang : Mengenal Filosofi dan Esensi Rangkiang di Rumah Gadang

Apabila berbicara tentang kehidupan masyarakat Minangkabau, kita menemukan beragam kearifan yang terkadang menunjukkan betapa tajamnya filosofi kebudayaan Minangkabau dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Di antara bentuk kebudayaan tersebut adalah pendirian Rangkiang di bagian depan Rumah Gadang. Rangking merupaka padi yang sengaja didirikan untuk menyimpan hasil panen pada satu musim dan biasanya difungsikan untuk berjaga-jaga. Dahulunya,sebagian besar masyarakat Minangkabau memang menerapkan sistim tanam yang menyesuaikan dengan musim, apalagi mayoritas lahan di Minangkabau adalah tadah hujan. Rangkiang berperan penting dalam menjaga persediaan selama musim kemarau atau setelah musim panen, serta juga bisa dijual sekiranya ada kebutuhan mendesak yang tidak dapat diduga-duga. Namun, semenjak perkembangan teknologi pertanian dan pesatnya pembanguan infrastruktur pertanian seperti irigasi, Rangkiang sudah tidak lagi difungsikan secara optimal. Masyarakat yang bisa be

Partai, Keadilan, dan Kesejahteraan : Pertikaian antara teori, ideologi, dan Omong Kosong.

Sesungguhnya, persoalan kesejahteraan haruslah lepas dari intervensi kebijakan apapun. Baik itu dari sisi fiskal, moneter, ataupun perdagangan. Karena dengan cara itulah sistim menghargai eksistensi manusia, dan manusia dengan begitu mampu menghargai hakikat dirinya sebagai makhluk yang mempertaruhkan hidup bersama pertimbangan nilai demi mewujudkan kepentingan bersama. Yakni, Kesejahteraan! Lebih lanjut mengenai kesejahteraan, manusia tunduk pada definisinya akan kesejahteraan yang diinginkan. Sehingga kebebasan adalah alat utama dalam meraih semua itu. Sekiranya kebebasan dimusnahkan dan eksistensi individu dihantam, maka jangan sesekali berharap manusia akan mencapai kesejahteraan tersebut. Namun, hakikatnya kesejahteraan tidaklah berdiri sendiri. Ia harus ditopang dengan perwujudan keseimbangan yang menyeluruh. Apabila upaya mencapai kesejahteraan mulai menyulut pertikaian, maka tentu perlu adanya permodelan yang ter-moderasi dengan baik. Intervensi kebijaksanaan penting unt

Mengenai SDGs : Kekuatan Kearifan Lokal Dalam Penguatan Pembangunan

Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam waktu yang relatif cepat. Tidak dapat dipungkiri pembangunan telah membawa kita pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian dari keseluruhan kehidupan masyarakat, telah pula menciptakan jarak yang lebar antara kecanggihan dan keterbelakangan. Sisi lain dari kemajuan tekhnologi, berimbas pada kebudayaan lokal yang semakin lama semakin memudar, sebab budaya dan tradisi lokal kalah eksistensi dengan sajian-sajian yang dibungkus dengan kemajuan tekhnologi. Hal ini akan berdampak besar terhadap pembangunan berkelanjutan di tingkat daerah. Kebudayaan dan kearifan lokal sangat erat hubungannya dengan masyaraka