Bencana besar selalu saja menyisakan pelbagai persoalan kemanusiaan dari persoalan kesehatan, sosial hingga ekonomi. Pandemi virus Corona (Covid 19) yang menyerang Indonesia sejak awal Maret 2020 benar-benar menjadi momok menakutkan. Sebagaimana diketahui bahwa wabah ini telah menyerang banyak negara di pelbagai belahan dunia. Bahkan negara adidaya saja sampai bertekuk lutut ketika diserang oleh wabah ini.
IMF pada Jumat (27/3) bulan lalu menegaskan bahwa perekonomian global sudah memasuki tahap resesi. Hampir semua negara saat ini termasuk Indonesia menghentikan sebagian aktivitas perekonomian. Mudah untuk disimpulkan bahwa hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis dari kerusakan pada sejumlah sektor dan sub-sektor ekonomi. Sebagai bagian tak terpisah dari perekonomian dunia tentu kondisi ini berdampak pada perekonomian Indonesia.
Banyak negara yang telah mengambil keputusan ekstrem untuk melakukan “lockdown” dan beberapa kebijakan masif dalam rangka mencegah penyebaran virus Covid 19. Sedangkan Indonesia hingga saat ini lebih memilih untuk tidak melakukan lockdown dengan pertimbangan dampak terhadap stabilitas ekonomi negara. Pilihan kebijakan dari Indonesia adalah penerapan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) tingkat wilayah.
Kebijakan ini ditempuh agar hidup kebangsaan dan kenegaraan tidak lumpuh. Penerapan PSBB tingkat wilayah atau daerah secara teknis bergantung pada kondisi daerah, sehingga inisiatif penerapan PSBB ada di tangan kepada daerah (gubernur, bupati, wali kota), tentunya setelah berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan.
Kondisi Ekonomi di tengah Pandemi Covid 19 dan Penerapan PSBB
Jika krisis pada tahun 2008 meluluhlantakkan sektor moneter maka sekarang giliran sektor riil yang terkena dampak dari krisis covid 19. Bagaimana tidak, kapasitas produksi dan pengeluaran nasional terkapar lesu, UMKM meradang, Indeks harga saham dan nilai tukar rupiah terjun bebas dan mencapai angka terendah dalam lima tahun terakhir.
Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, pada Senin (6/4) pekan lalu mengemukakan bahwa akibat wabah corona tersebut perekonomian nasional saat ini hanya bisa tumbuh 2,3% dari prediksi sebesar 5% awal tahun 2020. Keadaan ini diperparah pula dengan investasi dan ekspor yang tumbuh negatif.
Saat ini tidak bisa dinafikan bahwa dari seluruh angkatan kerja Indonesia yang bekerja, 60 % diantaranya adalah pekerja informal, artinya pekerja ini tidak terikat pada gaji bulanan, akan tetapi terikat pada seberapa banyak usaha yang dilakukan setiap harinya. Pekerja informal seperti kuli bangunan, pelaku UMKM, buruh tani serta banyak jenis lainnya memerlukan mobilitas manusia dalam aktivitasnya.
Jadi ketika wabah virus Corona menyergap, pekerja informal langsung menerima dampaknya. Para pedagang kaki lima misalnya; sebagian dari mereka harus berhenti berusaha untuk sementara karena penerapan pembatasan sosial. Unit-unit usaha lainnya pun bernasib serupa, karena masyarakat memilih untuk berdiam di rumah. Mau tak mau hal ini tentu berdampak pada berkurang atau hilangnya pendapatan.
Selain itu, kondisi pertumbuhan ekonomi yang cukup lesu ini disebabkan oleh keadaan UMKM yang meradang. Hal ini dapat dimaklumi mengingat sektor UMKM merupakan jantung ekonomi nasional. Kita masih ingat kala terjadi krisis ekonomi 1998, UMKM merupakan tulang punggung ekonomi yang menopang perekonomian nasional kala krisis melanda. Jadi, apabila sektor UMKM mengalami krisis maka akan berimbas pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Berdasarkan data yg dirilis oleh detik.com, jumlah UMKM mencapai 62,9 juta unit usaha, sementara jumlah usaha skala besar sekitar 5.400 unit usaha (data tahun 2017). UMKM umumnya bergerak di sektor perdagangan besar dan eceran, penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum, Industri pengolahan, usaha pertanian, usaha peternakan, usaha perikanan, usaha hotel kecil, restoran dan jasa-jasa, dan beberapa di antaranya menjadi bagian atau pelengkap dari usaha kehutanan dan pertambangan. Ketika segala sesuatunya normal, usaha mikro bisa menyerap sekitar 107,2 juta pekerja (89,2%), usaha kecil menyerap 5,7 juta (4,74%) pekerja, dan usaha menengah menyerap 3,73 juta (3,11%) pekerja. Total, UMKM menyerap sekitar 97% dari total tenaga kerja nasional, sedangkan usaha besar menyerap sekitar 3,58 juta, sekitar 3%.
Melihat kondisi angkatan kerja Indonesia dan UMKM yang menjadi pilar penyangga tegaknya perekonomian nasional maka kebijakan ekonomi yang komprehensif adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, kehadiran pemangku kebijakan sebagai penanggungjawab dalam merumuskan kebijakan sangatlah diharapkan.
Kebijakan Ekonomi yang Komprehensif sebagai Imunitas Krisis
Ketika terjadi krisis ekonomi, maka pemangku kebijakan harus segera mengambil kebijakan yang kontra-krisis sehingga kerusakan lebih parah pada sektor riil dapat diminimalisir. Tentu, pemerintah dalam mengemas kebijakannya harus mengakomodir supply side dan demand side di sektor riil. Harus diakui dampak krisis covid 19 ini merusak dan meluluhlantakkan supply side dan demand side. Berlarut-larut dalam kondisi ini tanpa segera menempuh kebijakan yang komprehensif berimplikasi pada krisis ekonomi yang lebih parah. Bahkan para ekonom memproyeksikan bahwa krisis ekonomi saat ini lebih parah dari krisis moneter tahun 2008.
Supply side Indonesia saat ini ditopang oleh kapasitas produksi nasional dimana hal ini tercermin pada akumulasi produksi dari unit-unit UMKM dan usaha besar di sektor riil. Jika unit-unit UMKM ini tutup sebagai imbas dari covid 19 maka akan berdampak pada semakin banyaknya pekerja yang di-PHK. Jadi, agar unit-unit usaha tersebut tetap beraktivitas maka sangat penting paket kebijakan yang dikemas harus mampu menstimulus sisi penawaran (supply side). Kebijakan relaksasi dan insentif pajak serta kelonggaran kredit bagi pelaku UMKM adalah salah satu solusi untuk meminimalisir imbas krisis tsb. Karena dengan begitu, modal kerja unit UMKM tidak terganggu.
Selain itu kebijakan pemerintah juga harus menyasar pada demand side, artinya kebijakan yang ditempuh mampu menjaga daya beli masyarakat di sektor riil. Tidak dapat dinafikan bahwa dampak covid 19 ini berimbas pada pekerja informal yang jumlahnya sebesar 60 %. Untuk konteks Sumatera Barat saja misalnya, data dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sumbar mengungkapkan bahwa sebanyak 4.052 orang tenaga kerja dirumahkan dan 267 orang mengalami PHK, belum lagi daerah-daerah lain yang terkena imbas dari covid 19. Tentu ini akan berimplikasi pada berkurangnya daya beli masyarakat.
Apabila kondisi berkurangnya daya beli masyarakat ini dibiarkan maka akan berimbas pada menurunnya kapasitas produksi nasional. Karena permintaan atas produksi bergantung pada seberapa besar daya beli masyarakat. Sedangkan daya beli masyarakat tercermin dari pendapatan yang diperoleh pada usaha yang dilakoni. Kehadiran pemerintah melalui paket kebijakan yang dapat menopang daya beli masyarakat memang tidak bisa ditawar-tawar. Karena dengan begitu roda perekonomian akan tetap berjalan.
Hardiansyah Padli
Founder Dangau Tuo Institute
Comments
Post a Comment
Terima Kasih