Skip to main content

Review Buku : Madilog Sebagai Dasar Penguat Kemampuan Literasi



Bergerak di dunia pemikiran memang tidaklah mudah. Ada banyak yang perlu difahami serta diresapi dari setiap perkara kita temui. Mulai dari hal-hal yang berkaitan dengan fenomena di tengah masyarakat, seperti realita Sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Hingga kepada hal-hal yang berbau mistis yang sudah menjadi prinsip dan bahkan keyakinan yang dipegang erat secata turun-temurun.


Meskipun demikian, bergelut di dunia pemikiran merupakan hal yang cukup menyenangkan serta menjadi menjadi perkara yang dijalani dalam keseharian. Tidak bisa tidak, ketika berjumpa dan bercengkrama dengan masyarakat, ada banyak hal-hal baru yang senantiasa perlu dirumuskan makna dan  hakikatnya agar bisa difahami serta diaplikasikan di dalam kehidupan. Di samping itu, pada hal-hal terkait ekonomi, politik, dan ekonomi politik pun sudah secara langsung menyentuh dunia pemikiran, seperti mengapa sebuah negara harus berutang, tentang bagaimana masyarakat yang berusaha secara mikro lebih tahan terhadap krisis, hingga pada mengapa harus ada oposisi di dalam struktur bernegara. Semuanya tidak bisa lepas dari pergolakan di dunia pemikiran, dan dengan ini jualah masyarakat akan mampu bertahan dari serangan berita-berita palsu atas hoax.


Sebelum berkenalan dengan Madilog, aku berada didalam kekakuan berfikir yang hanya terpaku pada konsep-konsep klasik yang sudah sering dibahas di bangku sekolah. Aku yang hanya merumuskan segala sesuatu hanya dengan proses pemikiran yang searah serta tanpa proses berfikir radikal terlebih dahulu, sehingga terkadang aku memiliki pemikiran yang bisa terbilang dangkal dan radikal.


Ups,  sebelum dilanjutkan, mungkin terdengar sedikit aneh. Bagaimana mungkin jika tidak menempuh proses berfikir yang radikal, akan tercipta pemikiran yang radikal? Nah, dalam hal ini, kata radikal di sini memiliki dua arti yang berbeda. Pertama, radikal dalam berfikir bermakna bahwa seseorang menempuh proses berfikir yang mengakar dan mendalam, sesuai dengan asal makna dari kata radikal itu sendiri, yakini radix (akar). Sementara, pemikiran yang radikal itu adalah kecenderungn seseorang memiliki pemikiran yang keras dan cenderung dangkal, serta memutuskan segala perkara tanpa proses berfikir yang radikal (mendalam). Jadi, dua kata radikal di sini memiliki dua arti yang berlawanan. 


Nah, itulah yang aku dapatkan ketika berjumpa dan bercengkrama dengan Pemikiran Bapak Republik, Tan Malaka bersama Madilog-nya. Pengoptimalan logika dan dialektika dalam berfikir serta memaknai segala fenomena yang ada di tengah masyarakat, mampun menuntun aku pada budaya berfikir yang sistematis serta mendalam, dan tak jarang aku menemui makna-makna baru dalam kehidupan yang selama ini tidak terfikirkan sama sekali. Seperti halnya dalam memaknai kejahatan dan kebodohan pada seseorang. Selama ini, kita tentu berfikir bahwa logisnya, situasi masa depan seseorang ditentukan oleh masa sekarangnya. Jika ia sudah terbiasa jahat dan bodoh di masa sekarang, maka kita akan memberikan justifikasi yang kuat tentang bagaimana masa depan yang akan ia temui. Adapun kita sesekali berfikir bahwa hal tersebut tidaklah selamanya, namun bagaimana kita akan tetap memiliki anggapan kuat bahwa hal itu akan tetap ada pada dirinya.


Namun, ketika output pemikiran dengan logika berkata demikian, maka dengan dialektika, kita akan menempuh arah berfikir yang silmultan, sehingga kita akan menemukan penilaian yang amat berbeda. Bahwa yang jahat dan bodoh di masa sekarang, berkemungkinan akan menjadi manusia yang cemerlang, disebabkan gerakan kehidupan yang ia tempuh, serta bagaimana ia ditekan oleh pengalamannya sendiri. Dan begitupun juga sebaliknya, yang baik dan cerdas saat ini, berkemungkinan juga akan menjadi si jahat dan si bodoh di masa depan, karena pergerakan hidup ia lalui tidak dengan hati-hati.


Dengan demikian, Pengajaran yang berharga dan berkesan bersama Madilog ini telah memberikan model berfikir yang senantiasa terbarukan, dan kita harus tetap fleksibel dalam memaknai fenomena yang ada yang sejatinya merupakan bagian dari Materialism. Maka, antara MA (Materialism), DI (Dialektika, dan LOG (Logika) harus senantiasa berjalan secara simultan. Jika hanya dilalui dengan proses berfikir yang searah saja, maka tidak salah jika banyak di antara kita yang begitu mudah terpengaruh oleh isu-isu palsu (hoax).-



Comments

Popular posts from this blog

Culture-Heritage Ranah Minang : Mengenal Filosofi dan Esensi Rangkiang di Rumah Gadang

Apabila berbicara tentang kehidupan masyarakat Minangkabau, kita menemukan beragam kearifan yang terkadang menunjukkan betapa tajamnya filosofi kebudayaan Minangkabau dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Di antara bentuk kebudayaan tersebut adalah pendirian Rangkiang di bagian depan Rumah Gadang. Rangking merupaka padi yang sengaja didirikan untuk menyimpan hasil panen pada satu musim dan biasanya difungsikan untuk berjaga-jaga. Dahulunya,sebagian besar masyarakat Minangkabau memang menerapkan sistim tanam yang menyesuaikan dengan musim, apalagi mayoritas lahan di Minangkabau adalah tadah hujan. Rangkiang berperan penting dalam menjaga persediaan selama musim kemarau atau setelah musim panen, serta juga bisa dijual sekiranya ada kebutuhan mendesak yang tidak dapat diduga-duga. Namun, semenjak perkembangan teknologi pertanian dan pesatnya pembanguan infrastruktur pertanian seperti irigasi, Rangkiang sudah tidak lagi difungsikan secara optimal. Masyarakat yang bisa be...

Mengenai SDGs : Kekuatan Kearifan Lokal Dalam Penguatan Pembangunan

Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam waktu yang relatif cepat. Tidak dapat dipungkiri pembangunan telah membawa kita pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian dari keseluruhan kehidupan masyarakat, telah pula menciptakan jarak yang lebar antara kecanggihan dan keterbelakangan. Sisi lain dari kemajuan tekhnologi, berimbas pada kebudayaan lokal yang semakin lama semakin memudar, sebab budaya dan tradisi lokal kalah eksistensi dengan sajian-sajian yang dibungkus dengan kemajuan tekhnologi. Hal ini akan berdampak besar terhadap pembangunan berkelanjutan di tingkat daerah. Kebudayaan dan kearifan lokal sangat erat hubungannya dengan masyaraka...

Mengenai SDGs : Transformasi Pemuda di era 4.0 dan Pembangunan Berkelanjutan

source : Republika.com Revolusi industri 4.0 mulai berkembang di jerman pada tahun 2011 yang menggambarkan sebuah era baru sedang dimulai yaitu masa peralihan dari komputerisasi ke digital. Perubahan ini memberikan dampak yang cukup signifikan kepada manusia tidak hanya dari aspek ekonomi yang bersandarkan pada   kecanggihan sebuah tekhnologi informasi, tetapi juga pada aspek sosial dan budaya. Negara-negara berkembang saat ini berlomba-lomba dalam merancang strategi untuk menjadi yang teratas dalam menyongsong revolusi industri 4.0 in seperti yang tengah berkembang di Indonesia. Dengan menargetkan tercapainya 10 besar ekonomi dunia pada tahun 2030, ini bentuk kesungguhan Indonesia untuk ikut serta dalam mengembangkan Industri 4.0 yang notabene nya dilakukan oleh generasi muda. Mengapa pemuda? sebab   pemuda merupakan   orang-orang yang secara tenaga dan fikiran masih ideal dalam melakukan aktivitas dalam melakukan konstruksi fikiran serta gagasan hingga pa...