Bergerak di dunia
pemikiran memang tidaklah mudah. Ada banyak yang perlu difahami serta diresapi
dari setiap perkara kita temui. Mulai dari hal-hal yang berkaitan dengan
fenomena di tengah masyarakat, seperti realita Sosial, ekonomi, politik, dan
budaya. Hingga kepada hal-hal yang berbau mistis yang sudah menjadi prinsip dan
bahkan keyakinan yang dipegang erat secata turun-temurun.
Meskipun demikian,
bergelut di dunia pemikiran merupakan hal yang cukup menyenangkan serta menjadi
menjadi perkara yang dijalani dalam keseharian. Tidak bisa tidak, ketika
berjumpa dan bercengkrama dengan masyarakat, ada banyak hal-hal baru yang
senantiasa perlu dirumuskan makna dan hakikatnya agar bisa difahami
serta diaplikasikan di dalam kehidupan. Di samping itu, pada hal-hal terkait
ekonomi, politik, dan ekonomi politik pun sudah secara langsung menyentuh dunia
pemikiran, seperti mengapa sebuah negara harus berutang, tentang bagaimana
masyarakat yang berusaha secara mikro lebih tahan terhadap krisis, hingga pada
mengapa harus ada oposisi di dalam struktur bernegara. Semuanya tidak bisa
lepas dari pergolakan di dunia pemikiran, dan dengan ini jualah masyarakat akan
mampu bertahan dari serangan berita-berita palsu atas hoax.
Sebelum berkenalan
dengan Madilog, aku berada didalam kekakuan berfikir yang hanya terpaku pada
konsep-konsep klasik yang sudah sering dibahas di bangku sekolah. Aku yang
hanya merumuskan segala sesuatu hanya dengan proses pemikiran yang searah serta
tanpa proses berfikir radikal terlebih dahulu, sehingga terkadang aku memiliki
pemikiran yang bisa terbilang dangkal dan radikal.
Ups, sebelum
dilanjutkan, mungkin terdengar sedikit aneh. Bagaimana mungkin jika tidak
menempuh proses berfikir yang radikal, akan tercipta pemikiran yang radikal?
Nah, dalam hal ini, kata radikal di sini memiliki dua arti yang berbeda.
Pertama, radikal dalam berfikir bermakna bahwa seseorang menempuh proses berfikir
yang mengakar dan mendalam, sesuai dengan asal makna dari kata radikal itu
sendiri, yakini radix (akar). Sementara, pemikiran yang radikal itu adalah
kecenderungn seseorang memiliki pemikiran yang keras dan cenderung dangkal,
serta memutuskan segala perkara tanpa proses berfikir yang radikal (mendalam).
Jadi, dua kata radikal di sini memiliki dua arti yang berlawanan.
Nah, itulah yang
aku dapatkan ketika berjumpa dan bercengkrama dengan Pemikiran Bapak Republik,
Tan Malaka bersama Madilog-nya. Pengoptimalan logika dan dialektika dalam
berfikir serta memaknai segala fenomena yang ada di tengah masyarakat, mampun
menuntun aku pada budaya berfikir yang sistematis serta mendalam, dan tak
jarang aku menemui makna-makna baru dalam kehidupan yang selama ini tidak
terfikirkan sama sekali. Seperti halnya dalam memaknai kejahatan dan kebodohan
pada seseorang. Selama ini, kita tentu berfikir bahwa logisnya, situasi masa
depan seseorang ditentukan oleh masa sekarangnya. Jika ia sudah terbiasa jahat
dan bodoh di masa sekarang, maka kita akan memberikan justifikasi yang kuat
tentang bagaimana masa depan yang akan ia temui. Adapun kita sesekali berfikir
bahwa hal tersebut tidaklah selamanya, namun bagaimana kita akan tetap memiliki
anggapan kuat bahwa hal itu akan tetap ada pada dirinya.
Namun, ketika
output pemikiran dengan logika berkata demikian, maka dengan dialektika, kita
akan menempuh arah berfikir yang silmultan, sehingga kita akan menemukan
penilaian yang amat berbeda. Bahwa yang jahat dan bodoh di masa sekarang,
berkemungkinan akan menjadi manusia yang cemerlang, disebabkan gerakan
kehidupan yang ia tempuh, serta bagaimana ia ditekan oleh pengalamannya
sendiri. Dan begitupun juga sebaliknya, yang baik dan cerdas saat ini,
berkemungkinan juga akan menjadi si jahat dan si bodoh di masa depan, karena
pergerakan hidup ia lalui tidak dengan hati-hati.
Dengan demikian,
Pengajaran yang berharga dan berkesan bersama Madilog ini telah memberikan
model berfikir yang senantiasa terbarukan, dan kita harus tetap fleksibel dalam
memaknai fenomena yang ada yang sejatinya merupakan bagian dari Materialism.
Maka, antara MA (Materialism), DI (Dialektika, dan LOG (Logika) harus
senantiasa berjalan secara simultan. Jika hanya dilalui dengan proses berfikir
yang searah saja, maka tidak salah jika banyak di antara kita yang begitu mudah
terpengaruh oleh isu-isu palsu (hoax).-
Comments
Post a Comment
Terima Kasih