Ketika suatu negeri ditinggalkan oleh seorang tokoh yang berharga, sejatinya akan lahir tokoh-tokoh penerus yang akan melanjutkan estafet perubahan dan peletak titik kemajuan serta upaya di dalam menaklukkan pergolakan zaman. Begitulah idealnya sebuah negeri dan hal ini harus difahami sebaik mungkin oleh seluruh masyarakat.
Indonesia berduka kala kehilanga seorang Putera terbaik yang sudah memberikan perubahan berarti bagi negara ini. Mulai dari kegigihan di dalam memajukan industri penerbangan dan pengembangan ilmu pengetahuan, beliau juga dikenal sebagai sang “penjinak rupiah” pada saat perekonomian Indonesia terdampak krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998.
Ketokohan seorang Habibie tidak cukup difahami dari kiprah beliau sebagai seorang saintis dan politisi, namun bisa dilihat dari bagaimana beliau membangun kekuatan pemikiran pada masa muda di saat menempuh pendidikan di RWTH, Jerman. Habibie sebagai seorang idealis-futuristis mempertegas pemikirannya akan arah pembangunan Indonesia pasca kemerdekaan. Kita masih ingat betapa kuatnya Habibie menyuarakan seminar pembangunan pada saat memimpin PPI di Jerman dan bagaimana idealisnya beliau saat menghadapi perlawanan dan cemoohan akan ide dan pemikiran tersebut.
Ketika idealisme tersebut semakin kuat, tidak ada yang tidak mungkin dan hal tersebut tampak ketika beliau dipanggil ke tanah air untuk mengembangkan industri dirgantara. Meskipun pada akhirnya, beliau harus merelakan penghentian pengembangan tersebut di saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998. Idealismenya kembali diuji di saat dihadapkan pada pilihan, melanjutkan mimpi dalam pengembangan industri penerbangan atau mengembalikan stabilitas nasional. Namun, beliau adalah seorang futurist yang kuat, meskipun kala itu mengorbankan impian beliau, akan ada anak bangsa ini yang melanjutkan dan mengembangkan impian beliau ini dan saat ini geliat itu sudah mulai ada, apalagi saat ini sudah dibangun Pollux Habibie International.
Selain sebagai seorang futuristis, beliau juga merupakan seorang yang romantis-idealis. Jangan arahkan dulu pikiran kita pada kisah cinta sejati Habibie-Ainun, namun kita bisa melihat bagaimana sisi romantis seorang Habibie di dalam nasionalisme-nya. Kita masih ingat ketika Habibie mengedepankan kecintaannya terhadap Indonesia saat menjalin kasih dengan seorang wanita Polandia, Liona. Beliau membuktikan bahwa seorang pemuda pergerakan itu harus memaknai pergeraka sebagai wadah peraduan antara idealisme dan romantism. Sehingga, ia menjadi tokoh pergerakan yang dicintai dan diikuti (pergerakannya) atas dasar cinta dan kesukarelaan.
Sepatutnya, sosok Habibie yang futuristis-romantis ini diteladani oleh para generasi muda masa kini yang harus diakui tengah kehilangan idealisme pergerakan dan sulit membangun pola pergerakan yang bisa bermanfaat untuk masyarakat luas. Seorang pemuda harus memiliki pemikiran yang mampu membangun pola yang tertata rapi untuk merancang kehidupan di masa depan serta memperkuat ketulus dan kasih sayangnya dalam pergerakan tersebut, agar orang lain dengan tulus mengikuti pergerakannya dan tentunya berjuang bersama di dalam mewujudkannya.
Selamat jalan Prof.Dr.Ing Bacharuddin Jusuf Habibie..
Mohammad Aliman Shahmi
Dangau Tuo Institute
Comments
Post a Comment
Terima Kasih