Ruang
publik cukup panas dengan pernyataan-pernyataan yang kontroversial dari tokoh
politik yang menimbulkan reaksi publik yang kurang baik. Ketika hendak
menyuarakan kritik, si pengkritik selalu terhenti dengan diksi “ tabayyun dulu
lah!”, padahal pada kenyataannya persoalan sudah terlihat jelas dan berbagai
parameter sudah begitu jelas menegaskan betapa gamblangnya kekeliruan dari
permasalahan tersebut.
Sebut
saja, permasalahan interaksi atau hubungan antara kekuatan kelembagaan KPK dan
arus investasi asing. Dinyatakan bahwa KPK yang begitu kuat akan menghambat
masuknya investasi asing yang kemudian dipandang sebagai proses politik yang
tidak bisa dielaborasi secara ilmiah. Kuatnya anggapan tersebut seolah
menjelaskan bahwa terdapatnya sebuah fakta tersembunyi yang tidak mungkin
diungkapkan kepada publik dan jika diteruskan Indonesia akan berada di dalam
kondisi perlambatan.
Sejatinya,
berbicara terkait dengan investasi asing ini tidak lepas dari pembicaraan
melalui perspektif teoritis dan pendekatan politik. Secara teoritis sudah
jelas, investasi asing berkaitan dengan faktor penarik (pull factor) yang berkaitan dengan kondisi fundamental pada suatu
negara. Apakah itu berkaitan dengan tingkat produktivitas, stabilitas harga,
tingkat upah, atau yang berkaitan dengan kondisi pasar. Sementara dari sisi politik,
adanya pendekatan melalui penguatan kebijakan yang menunjang penguatan sistem
investasi di negara tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan kepastian hukum,
kebijakan terkait ketenagakerjaan, aspek lingkungan, dan kemudahan izin.
Semua
persoalan di atas merupakan permasalahan umum yang sudah menjadi tujuan dari
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Namun, persoalan politik juga tidak lepas
dari aturan main kelembagaan yang menunjang namun terkadang menghambat
investasi masuk. Terkadang, terdapat perihal kelembagaan yang memang terlihat
samar dan abstrak namun, menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap
kondisi dunia investasi.
Walau
bagaimanapun, persoalan kebijakan harus berangkat dari penjelasan secara
empiris beruapa analisis fenomena secara terstruktur. Terkhusus bagi Indonesia
yang menganut rezim devisa bebas dan nilai tukar mengambang murni ( bagi yang
belum tahu, Indonesia telah menerapkan rezim kebijakan ini semenjak tahun 2006
ketika negara ini secara resmi menerapkan penargetan inflasi). Setiap kebijakan
yang berkaitan dengan mobilisasi modal harus linear dengan dinamika pasar
global serta standar-standar yang ada di dalamnya. Sehingga, para perumus
kebijakan harus betul-betul memahami situasi tersebut secara komprehensif.
Lantas
bagaimana posisi political will di
sini? Ketika suatu kondisi telah menjelaskan bagaimana model kebijakan sesuai
dengan hal tersebut, maka kebijakan tidak boleh keluar dari alur yang sejalan
dengan fenomena yang ada. Agar, kebijakan tetap memegang fungsi eksogenitasnya.
Terakhir,
terkait politik ini, pada abad ke 18, Jhon Stuart Mill telah meletakkan asas
dan filosofi kebijakan sebagai bagian dari dasar-dasar politik. Sebuah upaya di
dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan itu haruslah tetap berpegang pada
pertimbangan nilai-nilai yang dianut oleh suatu negara (value of judgement). Dengan demikian, setiap perangkat perumus
kebijakan itu harus betul-betul memiliki formulasi yang tepat dan sesuai dengan
penjabaran fenomena yang ada.
Lebih
jauh sebelumnya, Islam di dalam Fiqh Siyasah juga telah menegaskan terkait
kepemimpinan dan kekuasaan yang mengedepankan mashlahah sebagai hal utama di
dalam proses politik. Dengan demikian, persoalan politik itu betul-betul harus
peka terhadap kondisi rasional dan realitas yang jelas, transparan, terukur,
dan teruji.
Dengan
demikian, sisi ilmiah di dalam politik memang tidak bisa lepas. Meskipun proses
politik mengedepankan sisi realita, namun analysis secara ilmiah harus
betul-betul dikedepankan.
Dangau Tuo Institute
Comments
Post a Comment
Terima Kasih