Isu utang selalu menarik
untuk diperbincangkan. Ada begitu banyak bumbu sensasi kala isu ini diangkat.
Pada dasarnya utang negara digunakan untuk menutupi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Selain itu, utang negara diperuntukkan sebagai upaya menjaga
stabilitas perekonomian negara.
Apalagi program
pembangunan infrastruktur negara yang cukup ekspansif tentu memerlukan dana
yang besar, sedangkan sumber penerimaan negara tidak cukup memadai untuk
menutupi. Belum lagi amanat Undang-Undang menegaskan bahwa belanja APBN untuk
daerah sebesar 26 % (termasuk di dalamnya 10 % dana desa), 20 % untuk
pendidikan, dan 5 % bagi sektor kesehatan.
Berdasarkan data
Kementerian Keuangan, utang pemerintah mengalami kenaikan sebesar 75% dari Rp
2.609 triliun pada 2014 menjadi Rp 4.572 triliun pada Mei 2019. Apabila
dibandingkan dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tren utang
pemerintahan Jokowi jauh lebih tinggi. Pada periode kedua SBY, utang pemerintah
hanya naik 64 %.
Sri Mulyani sebagaimana
dikutip dari Kompas mengatakan bahwa nilai utang pemerintah pusat pada Mei 2019
masih dalam batas aman. Undang-Undang 17 tahun 2003 mengamanatkan jumlah utang
maksimal 60 % dari PDB, pada tahun 2018 rasio utang pemerintah masih sebesar
29,8 %.
Kendati demikian, ada
sedikit kekhawatiran ketika melihat situasi utang pemerintah saat ini.
kekhawatiran ini dipicu oleh isu tentang penurunan kemampuan bayar utang
negara. Satu sisi beban pembayaran bunga utang pemerintah mengalami tren
kenaikan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Di sisi lain, peningkatan beban
bunga utang tidak sejalan dengan kemampuan pemerintah dalam mebayar utang.
Kementerian Keuangan
mengatakan bahwa pembayaran bunga utang secara nominal dalam periode
2014-2019 rata-rata mengalami kenaikan sebesar 15,7 %. Tren kenaikan ini juga
terjadi secara persentase terhadap PDB dari 1,26 persen pada 2014 menjadi 1,7
persen dari PDB pada 2019.
Sementara itu, rasio
pembayaran bunga utang terhadap pemdapatan negara mengalami peningkatan. Pada
2014, rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan pemerintah masih sebesar
8,6 % dan meningkat menjadi 12,7 % pada 2019. Peningkatan nisbah pembayaran
bunga utang terhadap pendapatan negara berimbas pada alokasi belanja negara.
Apabila pada tahun
2014, porsi belanja bunga utang negara mencapai 7,5 % dari total belanja, maka
pada tahun 2018, bunga utang negara mengalami kenaikan signifikan sebesar 17,7
%. Hal ini mengindikasikan bahwa alokasi untuk belanja yang lebih berkualitas
mengalami pelemahan.
Kondisi di atas kalau
tidak dicarikan segera solusinya, tidak menutup kemungkinan perekonomian
Indonesia akan terkena imbas krisis ekonomi akibat dari resesi global di tahun
2020. Karena kondisi krisis ekonomi Indonesia tidak hanya dipicu oleh utang, defisit
neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan yang kian melebar disinyalir
sebagai faktor krisis.
Bank Indonesia
mengungkapkan bahwa defisit neraca transaksi berjalan atau Current Account
Deficit (CAD) Indonesia pada kuartal ke-II menyentuh angka 3 % dari Produk
Domestik Bruto (PDB) setara 8,4 miliar dolar AS. Nilai ini cukup
mengkhawatirkan karena menyentuh batas aman yang menjadi patokan pemerintah. Kondisi
ini disebabkan oleh performa neraca perdagangan (Trade Account) yang
tidak stabil.
Lantas apa langkah yang
dapat ditempuh?
Salah satu solusi yang
dapat dilakukan adalah penguatan literasi keuangan masyarakat. Literasi keuangan
masyarakat bertujuan untuk memperkuat pasar uang dan keuangan domestik. Jadi dengan
adanya penguatan literasi keuangan masyarakat maka dapat menggerakkan
masyarakat untuk bertransaksi ke lembaga keuangan, seperti menabung, investasi,
berasuransi dlsb.
Penguatan literasi
keuangan masyarakat memiliki manfaat yang simultan. Yakni manfaat bagi
masyarakat di dalam keamanan dan kemudahan bertransaksi serta meningkatkan
kemampuan penataan keuangan bagi masyarakat. Sementara itu, bagi pasar uang dan
keuangan, penguatan literasi atau inklusi keuangan akan memperkuat stabilitas
sistem keuangan negara.
Meskipun terjadi sudden
reversal atau capital flight, negara sudah siap dengan sistem keuangan yang
kokoh. Sehingga guncangan (shock) di pasar uang dan keuangan tidak menimbulkan
dampak yang signifikan terhadap perekonomian negara. Yuk menabung dan berinvestasi!
Hardiansyah Fadli
Dangau Tuo Institute
Hardiansyah Fadli
Dangau Tuo Institute
Comments
Post a Comment
Terima Kasih