Pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga merupakan dua hal utama di dalam perekonomian yang senantiasa dibicarakan dan bahkan tanpa jeda. Mulai dari pembicaraan di kelas, ruang diskusi, ruang siding badan legislative, hingga obrolan hangat di kedai kopi pengisi kehampaan malam minggu para tuna asmara. Perkara ini seolah terus bergulir tanpa konklusi nyata yang bisa memberikan perubahan yang signifikan, atau setidaknya memperkuat pemahaman masyarakat terkait dua indikator utama dari fundamental makroekonomi ini.
Indonesia sebagai negara industry baru dan pasar berkembang (emerging market) terus berupaya memperkuat instrument kebijakan guna menjaga kondisi yang ideal dari dua hal tersebut. Ups! Jangan arahkan dulu pikiran tuan-tuan ke proses politik perumusan kebijakan yang dilakukan oleh para politisi, ini berada di dalam ranah teoritis dan teknis di kalangan perangkat kebijakan ekonomi yang sejatinya harus steril dari pengaruh kepentingan politik manapun. Ini berkaitan dengan sebuah regime kebijakan yang diterapkan oleh otoritas moneter suatu negara, yakni regime inflation targeting, sebuah rezim kebijakan yang menitik beratkan kebijakan pada pengendalian inflasi dari pada percepatan pertumbuhan ekonomi dan menjadi tugas utama otoritas moneter yang independen. Indonesia merupakan salah satu negara dunia yang menerapkan rezim kebijakan tersebut.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Indonesia mulai menerapkan rezim kebijakan ini semenjak juni 2004, yang juga merupakan pengintegrasian dari penerapkan rezim devisa bebas dan rezim nilai tukar mengambang murni. Pentingnya rezim kebijakan ini diterapkan agar ketika suatu negara sudah tidak membakukan mata uangnya terhadap mata uang dunia, maka harus diterapkan kebijakan yang menyasar pemeliharaan stabilitas harga.
sumber : world bank,2019
Harus diakui bahwa, penerapan rezim kebijakan penargetan inflasi ini akan mengubah kecenderungan kebijakan yang menyasar tingkat daya beli masyarakat, namun tidak begitu focus dalam percepatan pertumbuhan ekonomi, sehingga sangat jarang ditemukan negara yang menempuh rezim kebijakan ini mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kecuali bagi negara yang memiliki tingkat ekspansi ekonomi yang tinggi di pasar internasional atau yang memiliki tingka ekspor yang tinggi.
Mengamati perkembangan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia semenjak tahun 2004, ditemukan bahwa selama periode 2004-2014, kondisi inflasi di Indonesia berfluktuasi dan bahkan mencapai level yang cukup tinggi pada tahun 2008, yakni di level 18,14 %, sementara di tahun yang sama pertumbuhan ekonomi pada tahun yang sama berada di level 6,01% dan sebagaimana yang diketahui bahwa angka target inflasi Indonesia berada di level 5±1% (www.bi.go.id) Fenomena ini menunjukkan bahwa kondisi pereekonomian kala itu mengalami kondisi yang begitu buruk karena tingkat inflasi yang jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi saat itu. Sebuah kondisi yang bertolak belakang dengan apa yang selalu diungkapkan oleh kelompok oposisi Indonesia saat ini,
Selanjutnya, jika dilihat kondisi perekonomian dari tahun 2014-2018, kita menemukan bahwa angka inflasi terus konsisten berada di bahwa kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meskipun pada saat ini publik meyakini bahwa ekonomi mengalami perlambatan karena pertumbuhan ekonomi yang tidak lagi mencapai level 6-7% sebagaimana yang pernah dicapai pada tahun 2007-2008, namun perubahan tingkat harga tetap bisa dijaga dan ditekan.
Penargetan Inflasi Sebagai Proteksi Daya Beli atau Pertumbuhan Ekonomi yang Ideal
Beberapa penelitian empiris telah menyatakan bahwa negara yang menerapkan rezim kebijakan penargetan inflasi di dalam perekomiannya cenderung mengabaikan tujuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Karena pada dasarnya, level harga memiliki keterkaitan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi pada suatu negara (Buffie, Airaudo, & Zanna, 2018). Terdapatnya trade-off di antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi menjadi perhatian penting di dalam perekonomian. Apabila suatu negara telah menerapkan penargettan inflasi yang rendah, maka harus diterima konsekuensi bahwa negara tersebut tidak akan memperoleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sebaliknya (Huang, Yeh, & Wang, 2019)
Beberapa penelitian empiris telah menyatakan bahwa negara yang menerapkan rezim kebijakan penargetan inflasi di dalam perekomiannya cenderung mengabaikan tujuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Karena pada dasarnya, level harga memiliki keterkaitan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi pada suatu negara (Buffie, Airaudo, & Zanna, 2018). Terdapatnya trade-off di antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi menjadi perhatian penting di dalam perekonomian. Apabila suatu negara telah menerapkan penargettan inflasi yang rendah, maka harus diterima konsekuensi bahwa negara tersebut tidak akan memperoleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sebaliknya (Huang, Yeh, & Wang, 2019)
Lantas, apakah bisa disimpulkan bahwa ketika inflasi dipatok pada level yang rendah,pertumbuhan ekonomi pada suatu negara akan terhambat atau dalam artian akan difahami suatu negara akan mengalami perlambatan ekonomi? Agaknya, akan lebih tepat jika kita menempatkan suatu perspektif di dalam perekonomian ini, yakni kondisi yang ideal itu bukan terletak pada tingginya pertumbuhan ekonomi, namun terlihat pada bagaimana selisih di antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Sekiranya selisih antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi tersebut positif, maka dapat disimpulkan bahwa perekonomian mengalami kondisi yang ideal dan sebaliknya. Jika diibaratkan, ketika level kenaikan pendapatan bulanan kita adalah 5%, sementara kenaikan harga barang pada saat yang sama adalah 3%, maka kita memiliki kenaikan pendapatan yang ideal, karena masih memiliki sisa yang bisa disimpan. Namun, jika kenaikan pendapatan kita adalah 6%, sementara kenaikan harga pada saat itu adalah 18%, maka sudah dapat dipastikan kantong kita akan seret, utang bertambah, karena harus mencari tambahan uang untuk membeli suatu barang.
Begitulah kiranya yang terjadi di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh data di atas meskipun dalam rentang tahunn 2015-2018 pertumbuhan ekonomi terkesan stagnan di angka 5%, rata-rata inflasi tetap terjaga di level 3,5% setiap tahunnya. Dengan demikian, tentu sedikit keliru jika kita memberikan penilaian bahwa perekonomian negara mengalami kemerosotan, karena kondisi menjelaskan hal yang sejatinya ideal di dalam perekonomian. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita bisa memanfaatkan pemahaman ini untuk mengatur strategi perekonomian yang lebih jitu untuk di masa depan? Sekiranya kita memiliki posisi atau memiliki keinginan untuk menjadi praktisi politik di pemerintahan, apakah kita bisa memahami kondisi ini secara komprehensif hingga kemudian menetapkan kebijakan yang ideal di dalam sistim perekonomian?
Mohammad Aliman Shahmi
Dangau Tuo Institute
Buffie, E. F., Airaudo, M., & Zanna, F. (2018). Inflation targeting and exchange rate management in less developed countries. Journal of International Money and Finance, 81, 159–184. https://doi.org/10.1016/j.jimonfin.2017.09.013
Huang, H., Yeh, C., & Wang, X. (2019). Journal of International Money and Finance Inflation targeting and output-inflation tradeoffs q. Journal of International Money and Finance, 96, 102–120. https://doi.org/10.1016/j.jimonfin.2019.04.009
https://www.thebalance.com
www.worldbank.org
Comments
Post a Comment
Terima Kasih