Kedua, syariah. Syariah merupakan aktualisasi dari keyakinan terhadap Allah yang bersifat lahiriah (eksoterik). Dimensi ini berisi segala bentuk aturan hubungan personal manusia terhadap Tuhannya, hubungan antar sesama manusia (muamalat). Kemudian sejumlah aturan ini oleh para ulama Islam disusun dan dibagi dalam bentuk aturan ibadah, hukum kekeluargaan (al-ahwal al-syakhshiyyah), hukum pidana (jinayat), politik (siyasah) dll.
Ketiga, akhlak merupakan norma-norma yang mengatur dan menggerakkan hati nurani (qalb) manusia. KH Husein Muhammad dalam bukunya Menyusuri Jalan Cahaya menyebutkan, “akhlak sebagai aspek batiniah (esoterik) Islam yang melahirkan kehalusan budi, moral luhur atau akhlakul karimah."
Tegasnya akhlak adalah buah dari keimanan dan syariat yang dipraktikkan dalam kehidupan. Jika saya boleh mengilustarikan, maka keimanan merupakan akar, syariat adalah batangnya dan akhlak merupakan buah dari pohon kehidupan tersebut.
Qurban termasuk dalam kategori syariat yang terkandung pada konsep trilogi ajaran Islam di atas. Hal ini dapat dilihat dari sifat ibadah qurban itu sendiri, yang bersifat lahiriah.
Qurban secara etimologi berasal dari kata qaruba-yaqrubu-qurbanan, yang artinya mendekat. Sedangkan secara terminologi, qurban bermakna menyembelih hewan tertentu dengan niat qurbah (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala pada waktu tertentu.
Qurban dalam Islam juga disebut al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang bermakna binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai wujud taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam satu waktu Rasulullah Saw pernah ditanya oleh para sahabatnya, “wahai Rasulullah Saw apakah qurban itu?” Lantas Rasulullah menjawab, “qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim”. Lalu para sahabat kembali bertanya, “apa keutamaan yang akan kami peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah kembali menjawab, “setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka para sahabat kembali bertanya, “kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab, “setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.”
Lismanto dalam bukunya Hukum Islam Progresif menyatakan tradisi qurban dalam Idul Adha memiliki dua dimensi. Pertama, makna qurban memiliki dimensi ibadah-spiritual yang artinya bahwa ibadah qurban adalah manifestasi dari ketaatan seorang hamba terhadap Tuhannya. Tentu ketaatan itu harus dibangun diatas pondasi keikhlasan sehingga mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya. Hal tersebut selaras dengan makna qurban itu sendiri, yaitu dekat (qarib).
Kedua, makna qurban memiliki dimensi sosial, artinya qurban yang dilakukan berdampak pada kesejahteraan lingkungan sosial. Dimana konsumsi daging yang biasanya hanya dapat dijangkau oleh orang elit, justru pada momentum Idul Adha setiap lapisan masyarakat dapat merasakannya. Hal ini membuktikan bahwa ritual qurban menjadi sarana membangkitkan solidaritas sosial.
Selaras dengan yang Allah perintahkan, bahwa setiap ibadah itu harus mengharmonisasikan ibadah vertikal (hubungan manusia kepada Tuhannya) dengan ibadah horizontal (hubungan antar sesama manusia).
Jadi ketika dibawakan pada makna qurban itu adalah qarib, ternyata benar adanya. Tidak hanya sebatas dekat (qarib) dalam konteks hubungan manusia dengan sang Khalik (hablum minallah), tapi dekat (qarib) dalam konteks hubungan antar sesama manusia (hablum minannas).
Bahkan seorang penafsir modern, Rasyid Ridha mengatakan bahwa ibadah qurban melambangkan perjuangan kebenaran yang menuntut tingkat kesabaran, ketabahan, dan pengorbanan yang tinggi. Perspektif dari Rasyid Ridha ini mengajak kita untuk kembali menaruh perhatian yang tinggi kepada setiap ibadah yang memiliki dimensi moral dan perjuangan kemanusiaan.
Ibadah qurban mengajak kita untuk terus memperjuangkan moral dan kemanusiaan demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial. Bukankah keberpihakan Islam terhadap kelompok manusia yang miskin atau dimiskinkan oleh struktur sosialnya merupakan komitmen utama Islam?
Jadi, menyembelih hewan qurban sejatinya adalah menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang menyesatkan. Sebuat sifat yang sering kali tidak peka dan tidak peduli terhadap penderitaan orang lain dalam hal ini kelompok masyarakat miskin atau dimiskinkan oleh struktur sosialnya.
Setidaknya melalui ibadah qurban ini dapat menumbuhkan kembali kesadaran kita selaku seorang muslim untuk peduli dan saling berbagi antar sesama. Itulah akhlak antar sesama manusia sebagai buah dari keyakinan dan syariat (ibadah qurban) yang diimplementasikan dalam kehidupan.
Lebih lanjut, untuk menumbuhkan kesadaran saling peduli dan saling berbagi antar sesama maka ibadah qurban harus dilandasi oleh sikap ikhlas karena Allah Ta’ala. Sehingga qurban sebagai modal penopang karakter diri pribadi yang bisa memberi warna bagi lingkungan keluarga dan sosial dapat terwujud. Lugasnya, kesalehan pribadi yang dilanjutkan dengan kesalehan sosial. Tabik!
Hardiansyah Fadli
Dangau Tuo Institute
Comments
Post a Comment
Terima Kasih