Skip to main content

Pajak: Jihad Keuangan Publik ?



Salah satu indikator kemandirian sebuah Negara dapat dibaca melalui sistem pengelolaan keuangan. Negara yang memiliki dukungan keuangan yang kuat tentu sulit dipengaruhi bahkan didikte oleh pihak lain. Dalam kajian ekonomi makro ada dua instrument yang dipakai oleh sebuah negara untuk mejaga kestabilan ekonomi dan keuangannya. Dua instrument tersebut adalah kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

Kebijakan Fiskal atau secara tradisional dikenal dengan kebijakan publik merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan ketentuan, pemeliharaan dan pembayaran dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi fungsi-fungsi publik dan pemerintahan. Sedangkan kebijakan moneter adalah kebijakan bank sentral atau otoritas moneter dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai stabilitas ekonomi makro.

Di tengah-tengah percaturan perekonomian global, dimana peperangan ekonomi lazim terjadi untuk menjaga kestabilan suatu negara. Hal ini menuntut Indonesia untuk membangun perekonomian yang kuat melalui kebijakan publik atawa fiskal karena konsekuensi dari perekonomian pasti berlaku hukum penawaran dan permintaan yang dipengaruhi oleh kekuatan pasar.

Membicarakan tentang kebijakan fiskal maka erat kaitannya dengan pembahasan sumber keuangan negara. Sumber keuangan negara tentu dihasilkan dari sumber daya yang dimiliki oleh negara tsb. Jika sebuah negara memiliki potensi sumber daya alam yang mumpuni maka dapat dikelola guna untuk memenuhi keuangan negara. Begitu juga sebaliknya, apabila sumber daya alam tidak mencukupi maka diperlukan partisipasi aktif setiap warga Negara dalam merealisasikan ketahanan fiskal yang bermuara pada kedaulatan negara.

Bentuk partisipasi aktif setiap warga negara adalah pemberlakuan pajak. Pajak dimaksudkan sebagai salah satu instrument kebijakan publik yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan APBN. Karena dalam struktur APBN Indonesia saat ini, pajak menjadi penyumbang terbesar. Dalam arti pajak adalah tulang punggung negara. Pajak membiayai sebahagian besar aktivitas negara.

Berdasarkan data yang diungkap oleh Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pada tahun 2018 mencapai Rp 1315,9 triliun, atau hanya 92 persen realisasi dari target APBN 2018 sebesar Rp 1.424 triliun. Artinya kekurangan penerimaan (shortfall) pajak sebesar Rp 108,1 triliun tahun lalu. Setidaknya kondisi ini cukup baik apabila dibandingkan dengan penerimaan pajak pada tahun 2017. Realisasi target penerimaan pajak hanya 89,4 persen, artinya dari Rp 1.238,6 triliun yang ditargetkan, yang terealisasi hanya Rp 1.283,6 triliun.

Tren penerimaan pajak yang tidak bisa mencapai ekspektasi tersebut tentu tidak berada dalam ruang kosong. Ada banyak variabel yang mempengaruhinya. Dari kondisi perekonomian global seperti penurunan harga komoditas sawit, batubara dll sampai dengan persoalan penggelapan pajak melalui pola shadow economy adalah salah banyak penyebabnya.

Agaknya pemerintah harus melakukan usaha ekstra untuk mendorong warga negaranya agar patuh membayar pajak. Karena, pengenaan pajak pada dasarnya menunjukkan kedaulatan negara atas kegiatan perekonomian lintas negara. Hal ini dapat dilihat melalui pengenaan pajak kepada semua warga negara Indonesia di mana pun berada serta pajak bagi WNI maupun WNA yang pendapatannya bersumber dari Indonesia.

Padahal konstribusi financial dalam bentuk uang yang dibayarkan masyarakat melalui pajak digunakan untuk membangun fasilitas dan sarana yang digunakan untuk kepentingan umum, seperti: rumah sakit, sekolah, jalan, jembatan, irigasi dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Uang pajak juga dikembalikan oleh negara kepada rakyatnya dalam bentuk pelayanan umum, seperti subsidi, kredit usaha, beasiswa, bantuan dan jaminan sosial lainnya. Selain itu, digunakan untuk membayarkan gaji para ASN, TNI dan Polri.

Begitu vitalnya pajak dalam kehidupan bernegara. Amat wajar apabila pajak dikatakan sebagai instrument penting dalam mewujudkan kemandirian sebuah bangsa. Kemandirian sebuah bangsa salah satunya dipengaruhi oleh kekuatan fiskalnya. Semakin baik kondisi fiskal sebuah negara maka semakin baik pula ketahanan negara tersebut. Semakin baik ketahanan negara maka kemandiriannya akan segera terwujud.

Belajar dari historis 1998, dimana perekonomian negara kala itu ambruk disebabkan oleh krisis moneter. Kondisi ini diperparah dengan rapuhnya ketahanan fiskal yang mengakibatkan pemerintah terpaksa meminta dana talangan dari IMF (International Monetary Fund). Tentu tidak ada makan siang gratis begitulah adagium menyebutkan. IMF (International Monetary Fund) mensyaratkan reformasi ekonomi, moneter dan perbankan. Pada hakikatnya campur tangan IMF ini merupakan sebuah bentuk serangan kepada kedaulatan dan kemandirian kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Harapannya preseden buruk ini tidak lagi terjadi.

Oleh karena itu, pajak sebagai sumber kekuatan utama dalam ketahanan fiskal harus tetap dipertahankan. Menghapuskan dan menolak pajak tanpa mencarikan alternatif solusinya justru akan membuat perekonomian negara ini memburuk. Meminjam statement Arif Rahmat (Punggawa Dangau Tuo Institute) yang mengatakan, “menolak pajak sama halnya menolak kemaslahatan”.

Terakhir, Jjka salah tujuan jihad adalah membebaskan kaum tertindas/terbelakang (mustad’afin) dari ketertindasan maka pajak adalah diversifikasi dari instrument jihad tersebut. Karena dalam konteks perekonomian modern, pajak merupakan salah satu instrument pemerintahan untuk mengetaskan persoalan kemiskinan. Bukankah orang-orang miskin termasuk kaum mustad’afin??

Hardiansyah Fadli
Dangau Tuo Institute

Comments

Popular posts from this blog

Culture-Heritage Ranah Minang : Mengenal Filosofi dan Esensi Rangkiang di Rumah Gadang

Apabila berbicara tentang kehidupan masyarakat Minangkabau, kita menemukan beragam kearifan yang terkadang menunjukkan betapa tajamnya filosofi kebudayaan Minangkabau dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Di antara bentuk kebudayaan tersebut adalah pendirian Rangkiang di bagian depan Rumah Gadang. Rangking merupaka padi yang sengaja didirikan untuk menyimpan hasil panen pada satu musim dan biasanya difungsikan untuk berjaga-jaga. Dahulunya,sebagian besar masyarakat Minangkabau memang menerapkan sistim tanam yang menyesuaikan dengan musim, apalagi mayoritas lahan di Minangkabau adalah tadah hujan. Rangkiang berperan penting dalam menjaga persediaan selama musim kemarau atau setelah musim panen, serta juga bisa dijual sekiranya ada kebutuhan mendesak yang tidak dapat diduga-duga. Namun, semenjak perkembangan teknologi pertanian dan pesatnya pembanguan infrastruktur pertanian seperti irigasi, Rangkiang sudah tidak lagi difungsikan secara optimal. Masyarakat yang bisa be...

Mengenai SDGs : Kekuatan Kearifan Lokal Dalam Penguatan Pembangunan

Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam waktu yang relatif cepat. Tidak dapat dipungkiri pembangunan telah membawa kita pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian dari keseluruhan kehidupan masyarakat, telah pula menciptakan jarak yang lebar antara kecanggihan dan keterbelakangan. Sisi lain dari kemajuan tekhnologi, berimbas pada kebudayaan lokal yang semakin lama semakin memudar, sebab budaya dan tradisi lokal kalah eksistensi dengan sajian-sajian yang dibungkus dengan kemajuan tekhnologi. Hal ini akan berdampak besar terhadap pembangunan berkelanjutan di tingkat daerah. Kebudayaan dan kearifan lokal sangat erat hubungannya dengan masyaraka...

Mengenai SDGs : Transformasi Pemuda di era 4.0 dan Pembangunan Berkelanjutan

source : Republika.com Revolusi industri 4.0 mulai berkembang di jerman pada tahun 2011 yang menggambarkan sebuah era baru sedang dimulai yaitu masa peralihan dari komputerisasi ke digital. Perubahan ini memberikan dampak yang cukup signifikan kepada manusia tidak hanya dari aspek ekonomi yang bersandarkan pada   kecanggihan sebuah tekhnologi informasi, tetapi juga pada aspek sosial dan budaya. Negara-negara berkembang saat ini berlomba-lomba dalam merancang strategi untuk menjadi yang teratas dalam menyongsong revolusi industri 4.0 in seperti yang tengah berkembang di Indonesia. Dengan menargetkan tercapainya 10 besar ekonomi dunia pada tahun 2030, ini bentuk kesungguhan Indonesia untuk ikut serta dalam mengembangkan Industri 4.0 yang notabene nya dilakukan oleh generasi muda. Mengapa pemuda? sebab   pemuda merupakan   orang-orang yang secara tenaga dan fikiran masih ideal dalam melakukan aktivitas dalam melakukan konstruksi fikiran serta gagasan hingga pa...