Skip to main content

Literasi Kebijakan : Memahami Esensi dan Proses Ideal Dalam Perumusan Kebijakan


pict source : detik.com
Kebijakan Publik pada hakikatnya berperan sebagai pengendali atas keseimbangan yang ada pada suatu negeri. Kuatnya kelembagaan serta tajamnya penelaahan masalah menjadi hal penting yang harus dipenuhi guna mencapai perumusan kebijakan yang tepat sasaran dan tidak menimbulkan guncangan yang menggangu keseimbangan. Dalam filosofi ekonomi publik dan ekonomi makro, kebijakan berperan penting dalam mengarahkan pergerakan suatu negara dalam  menuju kematangan.

Kendatipun negara-negara maju di dunia memulai langkah dengan memisahkan diri dari kebijakan pemerintah, dan bahkan secara radikal mengatakan kebijakan pemerintah sebagai pengganggu kondisi sosial dan ekonomi, namun pada tahun 1930an Keynes melalui The General of Theory secara implisit dan eksplisit menegaskan tentang pentingnya kebijakan dalam mencapai keseimbangan umum. Rumusan dalam permodelan IS-LM atau keseimbangan di sektor rill dan pasar uang yang dicapai dengan penguatan kebijakan fiskal dan moneter, menjadi acuan utama tentang bagaimana pentingnya sebuah kebijakan dalam mengatur keberlanjutan kehidupan sosial dan ekonomi pada suatu negara, sehingga jika salah satu sisi kebijakan mengalami guncangan, maka akan berpengaruh pada sisi kebijakan lainnya.

Persoalan penting yang sering timbul saat ini adalah pada sisi kebijakan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Proses politik dalam perumusan kebijakan yang seringkali tidak diawali dengan study empiris terhadap permasalahan yang ada menyebabkan banyak kebijakan yang salah sasaran. Mulai dari keliru dalam menetapkan asumsi terhadap kondisi di masa depan, hingga mengabaikan prinsip serta idealism secara ideologis maupun teoritis, yang kemudian mengarahkan kebijakan hanya sebagai “event politik” yang lahir dari pandangan pragmatis yang sangat dangkal.

Betapapun kuatnya daya kritik terhadap proses politik pada sebuah kebijakan, kita menemukan bahwa supremasi politik memang begitu kuat sehingga persoalan-persoalan kritis yang seharusnya dikedepankan, tidak dijadikan landasan dalam mengatur arah kebijakan. Persoalan ini juga diperparah ketika masyarakat pada suatu negara tidak memiliki pemahaman yang utuh atas kebijakan yang sesungguhnya. Lemahnya literasi hingga sulitnya membangun pemikiran yang terbuka, esensi kebijakan yang sesungguhnya tidak difahami secara utuh.

Memang banyak diskusi yang dibangun di berbagai forum terkait pendalaman pemahaman mengenai kebijakan, namun perbedaan pandangan atas permasalahan dan fenomena, membuat diskusi tidak mencapai diskursus yang betul-betul terstruktur. Diskusi lebih banyak sekadar kongkow-kongkow, dan sering menimbulkan celah yang cukup besar yang dimanfaaatkan oleh  individu atau kelompok yang memiliki kepentingan politik pragmatis. Alhasil, sebuah forum diskusi kebijakan tersebut tidak pernah berkelanjutan karena sudah melahirkan konflik-konflik kecil. Padahal, masing-masing pihak belum memiliki pemahaman yang kuat,baik secara tekstual apalagi secara kontekstual. Persepsi yang lebih dikuasai oleh prasangka,  sulitnya membangun pemahaman atas pola pemikiran orang lain, serta merasa superior atas sebuah pengaruh, membuat pemahaman atas literasi, terutama literasi kebijakan yang menjadi permasalahan yang didiskusikan tidak mencapai titik yang ideal.

Apabila dikatakan persoalan ini harus didiskusikan secara eksklusif, atau bahkan dibahas berdasarkan metodologi yang relevan dan tepat, tentu saja hal ini akan memperluas konflik pemahaman yang terjadi. Akhirnya, kita kembali pada budaya pergerakan yang diturunkan dari budaya berfikir yang benar. Bagaimana menghayati esensi permasalahan/eviden/ materi, proses dialetika, penguatan logika yang sudah diperkuat di ranah filsafat. Hegel, Marx, Founding Father  Indonesia, Datuk Tan Malaka telah mengurai formula yang tepat dalam membangun budaya pemikiran tersebut. Hingga kemudian penguatan atas literasi, terutama literasi kebijakan bisa tercapai dengan cara yang betul-betul terstruktur dan sistematis. Meskipun pencapaian ini sulit diwujudkan secara menyeluruh, namun seharusnya persoalan ini sudah bisa diterapkan oleh organisasi, komunitas, atau bahkan individu yang betul-betul ingin memperkuat gerakan pemikiran dalam mencapai pemahaman yang utuh atas dasar pemahaman yang holistik.
 Tulisan singkat ini sejatinya hanya sebagai pengatar yang diharapkan akan mampu membuka ruang diskusi yang lebih luas dan tentunya lebih matang. Harapan akhirnya adalah masyarakat mampu memiliki budaya literasi yang kuat, terutama dalam hal kebijakan publik beserta prinsip keseimbangan umum yang termaktub di dalamnya. 


Mohammad Aliman Shahmi
Dangau Tuo Institute

Comments

Popular posts from this blog

Culture-Heritage Ranah Minang : Mengenal Filosofi dan Esensi Rangkiang di Rumah Gadang

Apabila berbicara tentang kehidupan masyarakat Minangkabau, kita menemukan beragam kearifan yang terkadang menunjukkan betapa tajamnya filosofi kebudayaan Minangkabau dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Di antara bentuk kebudayaan tersebut adalah pendirian Rangkiang di bagian depan Rumah Gadang. Rangking merupaka padi yang sengaja didirikan untuk menyimpan hasil panen pada satu musim dan biasanya difungsikan untuk berjaga-jaga. Dahulunya,sebagian besar masyarakat Minangkabau memang menerapkan sistim tanam yang menyesuaikan dengan musim, apalagi mayoritas lahan di Minangkabau adalah tadah hujan. Rangkiang berperan penting dalam menjaga persediaan selama musim kemarau atau setelah musim panen, serta juga bisa dijual sekiranya ada kebutuhan mendesak yang tidak dapat diduga-duga. Namun, semenjak perkembangan teknologi pertanian dan pesatnya pembanguan infrastruktur pertanian seperti irigasi, Rangkiang sudah tidak lagi difungsikan secara optimal. Masyarakat yang bisa be

Partai, Keadilan, dan Kesejahteraan : Pertikaian antara teori, ideologi, dan Omong Kosong.

Sesungguhnya, persoalan kesejahteraan haruslah lepas dari intervensi kebijakan apapun. Baik itu dari sisi fiskal, moneter, ataupun perdagangan. Karena dengan cara itulah sistim menghargai eksistensi manusia, dan manusia dengan begitu mampu menghargai hakikat dirinya sebagai makhluk yang mempertaruhkan hidup bersama pertimbangan nilai demi mewujudkan kepentingan bersama. Yakni, Kesejahteraan! Lebih lanjut mengenai kesejahteraan, manusia tunduk pada definisinya akan kesejahteraan yang diinginkan. Sehingga kebebasan adalah alat utama dalam meraih semua itu. Sekiranya kebebasan dimusnahkan dan eksistensi individu dihantam, maka jangan sesekali berharap manusia akan mencapai kesejahteraan tersebut. Namun, hakikatnya kesejahteraan tidaklah berdiri sendiri. Ia harus ditopang dengan perwujudan keseimbangan yang menyeluruh. Apabila upaya mencapai kesejahteraan mulai menyulut pertikaian, maka tentu perlu adanya permodelan yang ter-moderasi dengan baik. Intervensi kebijaksanaan penting unt

Mengenai SDGs : Kekuatan Kearifan Lokal Dalam Penguatan Pembangunan

Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam waktu yang relatif cepat. Tidak dapat dipungkiri pembangunan telah membawa kita pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian dari keseluruhan kehidupan masyarakat, telah pula menciptakan jarak yang lebar antara kecanggihan dan keterbelakangan. Sisi lain dari kemajuan tekhnologi, berimbas pada kebudayaan lokal yang semakin lama semakin memudar, sebab budaya dan tradisi lokal kalah eksistensi dengan sajian-sajian yang dibungkus dengan kemajuan tekhnologi. Hal ini akan berdampak besar terhadap pembangunan berkelanjutan di tingkat daerah. Kebudayaan dan kearifan lokal sangat erat hubungannya dengan masyaraka