Skip to main content

Mengenai SDGs : Memandang Kemiskinan dan Upaya Pengentasan Dalam Perspektif Islam


sumber : Merdeka

Kemiskinan merupakan problematika kehidupan yang sejak dahulu dihadapi umat manusia. Kemiskinan juga menjadi momok bagi setiap individu. Dalam kehidupan sehari-hari, kemiskinan adalah sesuatu yang nyata adanya dalam masyarakat. Orang-orang miskin tidak hanya ditemui di negara berkembang, namun ada di negara maju.  Berbagai aturan dan sistem sosial belum mampu memberikan solusi dari permasalahan tersebut.

Kemiskinan bahkan menjadi wacana yang paling krusial ketimbang wacana lainnya, misalnya iklim, terorisme, dan perang. Berdasarkan data yang dirilis Sam Mountford, persentase survey adalah sebagai berikut: kemiskinan ekstrim 71 %, lingkungan 64 %, meningkatnya harga pangan dan energy 63 %, terorisme dan HAM serta penyebaran penyakit 59 %, ekonomi dunia 58 %, dan isu perang 57 %.

Lebih lanjut, suatu penduduk dikatakan miskin atau tidak miskin berdasarkan Garis Kemiskinan (GK). GK merupakan jumlah rupiah minimum yang yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan dan bukan makanan. Pendudukan dikategorikan miskin apabila memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan.

Maka mengetahui standar kemiskinan itu penting, walaupun selama ini sudah berbagai macam lembaga telah bekerja untuk memetakan garis kemiskinan. Mulai dari skala internasional seperti bank World Bank , atau nasional seperti Badan Pusat Statistik (BPS) hingga skala lokal yang biasanya ditangani oleh dinas sosial masing-masing daerah.

Konsep Garis kemiskinan pada dasarnya dibangun diatas dua pondasi utama, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan). Kalau merujuk pada garis kemiskinan internasional yang ditetapkan oleh World Bank adalah sebesar USD 1,9 (Rp 25.000) per hari dengan total penghasilan 750 ribu perbulan.

Lantas seperti apa garis kemiskinan didalam pandangan Islam? Setidaknya ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam menentukan standar garis kemiskinan. Pertama, pendekatan had al-kifayah (batas kebutuhan hidup). Kedua, pendekatan garis nishab zakat.

Pedekatan had al-kifayah adalah pendekatan yang dipakai untuk mengukur berapa kebutuhan minimum menurut standar maqasid syariah. Jadi garis kemiskinan berdasarkan had al-kifayah tidak hanya fokus pada tingkat pendapatan dan pengeluaran berdasarkan makanan dan bukan makanan, tapi lebih dari itu. Ada lima faktor yang harus dilindungi menurut maqasid syariah yaitu: agama, kekayaan, akal, keturunan dan jiwa.

Artinya had al-kifayah mempertimbangkan kebutuhan mulai dari kebutuhan pokok yang sesuai bagi kehidupan normal seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, hingga alat komunikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan had al-kifayah pada garis kemiskinan lebih bersifat komprehensif dan holistic.

Kemudian, pendekatan garis nishab adalah pendekatan garis kemiskinan berbasis nishab zakat. Parameter nishab dipakai untuk menentukan status seseorang menjadi muzakki (memberi zakat) atau mustahiq (menerima zakat). Hal ini didasarkan pada nash yang menegaskan bahwa pembeda antara muzakki dan mustahiq adalah nishab.

Bahkan di dalam al-Quran disebutkan dua kelompok dhuafa yang berhak menerima zakat, yaitu kelompok faqir (fuqoro) dan kelompok miskin (masaakin). Sehingga pendekatan batas nishab pada garis kemiskinan bisa menjadi standar di dalam menentukan apakah penduduk tersebut masuk kategori miskin atau tidak miskin. Setidaknya ada dua standar nishab zakat yang bisa dipakai, yaitu standar nishab zakat emas dan perak dan kedua standar nishab zakat pertanian.

Begitulah dua pendekatan yang ditawarkan dari sisi agama Islam. Kedua pendekatan ini sangat penting untuk dipertimbangkan dalam rangka meminimalisir kemiskinan. Karena salah satu musuh terbesar dari Islam itu sendiri adalah kemiskinan.

Akhirnya, pengentasan kemiskinan merupakan indikator utama dalam pewujudan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Pada prinsipnya, SDGs mengedepankan kesejahteraan yang harus dinilai secara simultan dengan berbagai pendekatan, salah satunya adalah perspektif Islam yang sangat kental dengan penguatan ekonomi kesejahteraan (welfare economy) konsep keseimbangan umum dalam perspektif makro. Ada baiknya, Indonesia dengan negara yang muslim ini bisa menerapkan prinsip-prinsip Islam terutama dalam hal pendekatan terhadap pengentasan kemiskinan. Dengan demikian, Indonesia mampu terdepan dalam perwujudan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). 

#SDGs
#Welfare


Hardiansyah Fadli
Dangau Tuo Institute

Comments

Popular posts from this blog

Culture-Heritage Ranah Minang : Mengenal Filosofi dan Esensi Rangkiang di Rumah Gadang

Apabila berbicara tentang kehidupan masyarakat Minangkabau, kita menemukan beragam kearifan yang terkadang menunjukkan betapa tajamnya filosofi kebudayaan Minangkabau dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Di antara bentuk kebudayaan tersebut adalah pendirian Rangkiang di bagian depan Rumah Gadang. Rangking merupaka padi yang sengaja didirikan untuk menyimpan hasil panen pada satu musim dan biasanya difungsikan untuk berjaga-jaga. Dahulunya,sebagian besar masyarakat Minangkabau memang menerapkan sistim tanam yang menyesuaikan dengan musim, apalagi mayoritas lahan di Minangkabau adalah tadah hujan. Rangkiang berperan penting dalam menjaga persediaan selama musim kemarau atau setelah musim panen, serta juga bisa dijual sekiranya ada kebutuhan mendesak yang tidak dapat diduga-duga. Namun, semenjak perkembangan teknologi pertanian dan pesatnya pembanguan infrastruktur pertanian seperti irigasi, Rangkiang sudah tidak lagi difungsikan secara optimal. Masyarakat yang bisa be...

Mengenai SDGs : Transformasi Pemuda di era 4.0 dan Pembangunan Berkelanjutan

source : Republika.com Revolusi industri 4.0 mulai berkembang di jerman pada tahun 2011 yang menggambarkan sebuah era baru sedang dimulai yaitu masa peralihan dari komputerisasi ke digital. Perubahan ini memberikan dampak yang cukup signifikan kepada manusia tidak hanya dari aspek ekonomi yang bersandarkan pada   kecanggihan sebuah tekhnologi informasi, tetapi juga pada aspek sosial dan budaya. Negara-negara berkembang saat ini berlomba-lomba dalam merancang strategi untuk menjadi yang teratas dalam menyongsong revolusi industri 4.0 in seperti yang tengah berkembang di Indonesia. Dengan menargetkan tercapainya 10 besar ekonomi dunia pada tahun 2030, ini bentuk kesungguhan Indonesia untuk ikut serta dalam mengembangkan Industri 4.0 yang notabene nya dilakukan oleh generasi muda. Mengapa pemuda? sebab   pemuda merupakan   orang-orang yang secara tenaga dan fikiran masih ideal dalam melakukan aktivitas dalam melakukan konstruksi fikiran serta gagasan hingga pa...

Inklusi Keuangan dan Milenial Asyik Bertransaksi Syariah

  picture source : Sindonews.com Indikator tercapainya inklusi keuangan adalah pada saat setiap masyarakat memiliki akses terhadap berbagai layanan keuangan formal, serta memperoleh benefit dari layanan keuangan tersebut secara optimal, sebagaimanan yang tertuang di dalam Peraturan Presiden No 82 tahun 2016. Selain itu, inklusi keuangan juga merupakan representasi dari kuatnya literasi keuangan masyarakat, sehingga implikasi lanjutan dari hal ini adalah meningkatnya kegiatan perekonomian dan tentunya tercepai kesejahteraan yang ideal. Karena begitu pentingnya inklusi keuangan ini, maka sesungguhnya layanan keuangan itu harus menyentuh segmen masyarakat yang memiliki potensi yang besar dan memberikan prospek pengembangan layanan keuangan yang berkelanjutan. Selain daripada itu, layanan keuangan yang dikembangkan adalah bentuk layanan yang memiliki risiko yang rendah serta memiliki ketahanan yang cukup terhadap krisis dan seperti yang   kita ketahui, layanan keuangan Syariah...