Negara-negara maju (advance
economy) terus berupaya untuk memperluas pasar dengan melakukan investasi
ke negara-negara berkembang sebagai bentuk upaya dalam mewujudkan keseimbangan
di negaranya. Meskipun, dalam beberapa tahun terakhir banyak yang menarik
dananya dari negara-negara berkembang karena pengketatan kebijakan moneter
Amerika Serikat yang cukup membuat guncangan yang berdampak pada terjadinya
krisis seperti yang dialami oleh Turki, Argentina, dan Venezuela.
Selain itu, tingginya tensi bisnis di negara maju
semenjak upaya pewujudan pembangunan berkelanjutan serta ekonomi hijau membuat
para investor dari negara maju yang masih bertahan dalam paradigma lama yang
mengedepankan Millenium Development Goals(MDGs)
dan Ekonomi Coklat (Brown Economy)
sehingga memiliki kecenderungan untuk mengalihkan modalnya ke negara-negara
berkembang yang belum mengedepankan sisi lingkungan di dalam aktivitas
perekonomiannya.
Indonesia merupakan negara yang cukup “seksi” sebagai
negara tujuan investasi karena memiliki ukuran pasar besar lebih kurang sebesar
15 ribu trilliyun (Worlbank,2018). Selain itu, Indonesia yang memiliki
ketersediaan sumber daya alam yang melimpah serta jumlah penduduk yang banyak,
menjadikan Indonesia sebagai negara yang menjanjikan keuntungan yang cukup
besar bagi investor. Meskipun hingga saat ini, tingkat investasi di Indonesia
belum mencapai angka yang cukup tinggi dibandingkan dengan ukuran pasar
Indonesia. Tercatat pada akhir tahun 2018, tingkat investasi asing langsung di
Indonesia baru menempati porsi 2,6% dari ukuran pasar (GDP), Sehingga bisa
dikatakan Indonesia memiliki potensi investasi yang masih tinggi.
Selain itu, perhatian terhadap sisi lingkungan yang belum
tinggi, menyebabkan Indonesia cukup menarik bagi para investor yang masih
mengabaikan lingkungan. Hal ini cukup menarik, Indonesia berpotensi menjadi
negara industri besar di Asia. Namun, inilah awal yang menjadikan Indonesia
semakin dekat dengan kehancuran.
Pidato kemenangan Jokowi yang bertajuk Visi Indonesia
pada beberapa hari yang lalu semakin memperkuat asumsi kita bersama bahwa
Indonesia memang akan dijadikan daerah tujuan investasi yang besar. Dengan
anggapan yang kuat lapangan kerja akan meningkat, dan tentunya kesejahteraan
akan terwujud dengan turunnya pengangguran.
Namun, Jokowi yang mengabaikan aspek lingkungan serta
hal-hal yang berkaitan dengan keberlanjutan ekonomi. Belumlah usai permasalahan
Tambang batu bara dan Sawit, dengan dipermudahnya regulasi untuk investasi
asing menjadikan Indonesia semakin jauh dari apa yang diimpikan selama ini
terkait dengan pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau.
Seharusnya, Jokowi tidak berhintung untuk kondisi lima
tahun ke depan. Namun, ia hendaknya memperhitungkan segala sesuatunya jauh
lebih ke depan. Ia harus mempersiapkan ekonomi yang abadi dalam berkelanjutan
setidaknya bisa dinikmati oleh cucu tersayangnya, Jan Ethes sekiranya nanti
diberi kesempatan mengikuti jejak langkahnya. Lantas mengapa Jokowi mengabaikan
hal tersebut? Bukankah saat ini, para ekonom terus berupaya menemukan model
investasi yang mengedepankan sisi lingkungan seperti green investment dan green
financing?
Percayalah, Indonesia memang akan menjadi besar seperti
yang diidamkan akan terwujud di tahun 2030. Namun, jangan mengabaikan adanya
mimpi buruk yang mengikuti mimpi indah itu karena tidak dikuatkannya sisi
keberlanjutan di dalam pembangunan. Akankah JOKOWINOMICS betul-betul akan
membawa Indonesia maju dan jatuh seketik dalam waktu yang singkat?
Comments
Post a Comment
Terima Kasih